Semua
orang pasti kenal dengan kata cinta. Bahkan selalu mengagung-agungkan kata
cinta tersebut. Cinta diidentifikasikan sebagai sesuatu yang indah, yang dapat
memberikan kebahagiaan pada semua umat manusia. Benarkah cinta itu memberikan
kebahagiaan pada pelakunya? Pada kenyataannya bisa ya, juga bisa tidak. Ada yang
bahagia karena cinta, dan tidak sedikit yang
sakit hati karena cinta, ada yang depresi karena cinta, dan ada yang bunuh diri
karenanya. Mengapa demikian?
Kita
pahami terlebih dahulu apa definisi cinta. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), cinta adalah perasaan suka sekali, sayang benar, kasih sekali,
terpikat, ingin sekali, berharap sekali, rindu, khawatir, dan risau. Cinta itu
berada pada ranah rasa dan gejolak jiwa dalam diri setiap manusia. Dan ketika
cinta itu hanya dipendam sendiri atau tidak terbalaskan, maka pelaku cinta akan
merasa kecewa, dan putus asa namun ketika cinta diterima oleh orang yang
dicintai maka bahagialah hati sang pelaku cinta.
Cinta
melekat dalam hati, makanya tidak aneh apabila cinta itu berbicara tentang sebuah
rasa yang tentunya memengaruhi emosional dalam jiwa pelaku cinta. Pasti
terdengar subjektif, karena soal rasa dalam hati tidak bisa di gambarkan dalam
rupa atau wujud nyata. Hal itu menjadikan banyak ragam pendapat tentang cinta
ini, mulai dari orang terdahulu hingga hari ini. Dari yang berprofesi ilmuwan
sampai para filsuf.
Menurut
(Dr. Fahruddin Faiz) mengenai Cinta dan Objeknya, terbagi ke dalam empat jenis,
yaitu; Cinta Ketuhanan, Cinta Kemanusiaan, Cinta Alam Semesta, dan Cinta
Romantik. Dan cinta romantiklah yang biasanya menjadi populer di kalangan para
pencari cinta. Pikiran kita sudah paham apabila berbicara soal cinta, pasti
akan mengarah pada sebuah definisi cinta yang indah atau cinta romantik antara
dua remaja berlainan jenis.
Dari
beberapa referensi yang saya dapatkan, terdapat banyak kisah yang menyebut
tentang kekuatan dan keagungan cinta romantik. Misalnya, kita lihat kisah cinta
yang terjadi pada; Romeo-Juliet, Laila-Majnun, Sampek-Entay dan lain sebagainya.
Dimana perjalanan cinta mereka dikisahkan sebagai seuatu yang indah tapi
dipenuhi kepahitan, dan berakhir dengan peristiwa yang tragis. Kisah cintanya
banyak mengandung halangan, rintangan, bahkan penderitaan dalam hidup. Tapi
mereka para pelaku cinta sangat merasakan sekali kekuatan dan keagungan cinta,
sehingga tetap bertahan walau dalam kepahitan dan kesulitan. Ya itulah cinta,
sebuah rasa yang mendatangkan energi yang sangat luar biasa dahsyatnya.
Seperti
kisah-kisah di atas, para pelaku cinta sudah saling tertaut, namun takdir tidak
mengizinkan pemersatuan mereka. Apalagi yang bertepuk sebelah tangan, pasti
sulit untuk saling bertautan. Sering kita mendengar ungkapan bahwa “mencintai
tidak selamanya harus memiliki”. Menurut beberapa sumber yang saya dapatkan,
memang betul sekali antara “mencintai dan memiliki” adalah dua hal yang
berbeda.
Sebelum
mengetahui perbedaan kata antara “mencintai dan memiliki”. Kita lihat dulu syair
yang terdapat dalam buku Kahlil Gibran yang berjudul The Prophet di bawah
ini. Marilah kita pahami secara bersama-sama.
Cinta tidak memberikan apa-apa
Kecuali keseluruhan dirinya
Cinta tidak mengambil apa-apa
Kecuali dari dirinya
Cinta tidak memiliki atau dimiliki
Karena cinta telah cukup untuk cinta
Dari
syair di atas, kita bisa paham bahwa cinta tidak bisa berbuat apapun pada sang
pelaku cinta, cinta hanya untuk cinta itu sendiri. Bukan untuk diberikan kepada
orang yang kita cintai atau kita yang akan menerimanya. Kata “memiliki” sangat
erat hubungannya dengan kepemilikan suatu objek benda/barang. Bisa saja kita
memiliki suatu barangnya namun kita tak pernah cinta dengan barang ataupun
sebaliknya. Kita tidak memiliki suatu barang, padahal kita sangat cinta dengan
barang tersebut. Sedangkan menurut KBBI definisi “memiliki” mengandung arti
mempunyai, mengambil secara tidak sah untuk dijadikan kepunyaan atau mengklaim
sesuatu. Jadi jelas sudah perbedaan antara mencintai dan memiliki.
Kemudian
apa yang salah dengan para pelaku cinta sehingga mereka merasa kecewa atau
sakit hati dengan cinta itu sendiri? Padahal cinta tidak berbuat apapun. Cinta adalah anugrah terindah dari Sang Maha Pencipta. Mungkin bagian
yang salah adalah tuntutan kita sebagai manusia pelaku cinta untuk meminta
balasan, imbalan atau pamrih terhadap rasa cinta yang dirasakannya pada orang lain. Nah, itulah sebabnya kita bisa menangis kalau diputuskan cinta
oleh kekasih pujaan hati. Hati terluka karena dia sudah abaikan rasa yang
mendalam pada dirinya. Cintanya bukan lagi sebuah rasa indah namun berubah
menjadi sutau rasa yang ingin memiliki jiwa raga orang yang dicintai. Seperti
halnya kita yang ngotot karena suka dengan barang yang kita cintai, namun kita
tidak bisa membeli dan memilikinya. Pastilah akan timbul rasa sakit yang
mendalam. Coba, jikalau pelaku cinta menyadari bahwa rasa cinta itu tidak harus
berpamrih atau tidak harus terbalaskan maka akan aman selamanya. Saya yakin
tidak akan ada gejolak hati ingin memiliki orang yang kita cintai, karena kita
tidak tahu apakah yang kita cintai ingin kita miliki atau malah mencintai orang
lain.
Saya
sering menemui pada kehidupan sehari-hari, kebanyakan pelaku cinta sangat
memaksakan kehendak dan membelenggu orang yang dicintainya. Ketika orang yang
kita cintai sudah kita miliki, kita anggap dia adalah milikku seutuhnya baik
lahir maupun batinnya. Sehingga orang yang dicintai harus bertekuk lutut dan memberikan apa yang diinginkan sang
pencinta untuk memenuhi hasrat pribadinya sendiri. Dan menurut saya, itu bukan
sebuah cinta namun penjajahan terhadap rasa yang diselubungkan atas nama cinta
dan ketakutan.
Setelah
berhasil memiliki orang dicintai
kemudian rasa itu mencengkram jiwa, tanpa sadar akan lahirlah sifat-sifat egois
terhadap diri sesorang. Timbul rasa ke”aku”an, dengan kata lain pokoknya kalau
tidak denganku kamu akan sengsara, kalau tidak seizin aku kamu akan rasakan
akibatnya. Cinta seperti itu akan membelenggu kebebasan dan memberikan
kepedihan pada orang yang dicintai.
Pengalaman
yang saya rasakan dalam cinta selalu ada kepercayaan, ada kebebasan, ada
ketulusan yang harus kita junjung tinggi sebagai seorang pecinta. Kalau sudah
begitu, perilaku seorang pecinta akan memberikan rasa indah yang ada dalam hati
kepada orang yang dicintai tanpa meminta imbalan apapun. Serta selalu bertindak
dengan segala kesadaran diri untuk membahagiakan orang yang dicintai secara ikhlas
tanpa paksaan.
Pada
hakikatnya rasa cinta yang kita miliki dapat dikendalikan oleh diri kita sendiri. Namun
perilaku orang lain untuk menerima atau menolak cinta kita, itu di luar kendali
diri kita. Setiap cinta akan mengalami perubahan, ketika sudah tidak relevan
lagi pada orang, ruang, dan waktu tertentu. Walaupun cinta itu tidak terbalas
tetap saja menjadi cinta, jangan pernah menjadi kebencian atau rasa dendam.
Andai
saja saya harus memilih, antara mencintai dan dicintai. Saya akan memilih untuk
mencintai, karena Sunnatullah kita harus mencintai dan menebarkan cinta kasih
di muka bumi ini. Apabila saya dicintai, perasaan menjadi takut ketika orang
yang mencintai saya, tidak mendapatkan balasan atau tidak bisa memiliki sesuatu
yang dia inginkan dari dalam diri saya. Hawatir akan ada rasa benci dan rasa
lain yang tumbuh secara perlahan pada orang tersebut.
Bagi
para pembaca sendiri, silakan memilih sesuai dengan persepsi dan prisip hidup
masing-masing. Yang jelas, semoga kita bisa mencintai Allah SWT, dan dicintaiNya
sampai akhir hidup ini. Aamiin YRA. (EAS)
Cinta dapat dengan mudah dikatakan namun maknanya begitu dalam dan indah, Masya Allah
BalasHapusTepat sekali...
HapusSaya menjadi mengerti apa arti dari cinta,dan apa makna sesungguhnya,..saya juga jadi bisa menerima ,bahwa cinta memang tak selamanya harus memiliki, terimakasih untuk memberikan saya pemahaman dari "cinta".
BalasHapusTerus semangat yach...
HapusMantappppp
BalasHapusTerima kasih...
HapusDari narasi bu EAS saya paham makna dari cinta sendiri ialah memberi tanpa mengharap untuk memiliki, karena kebahagiaan dalam mencintai terletak pada kebebasan dan kedamaian hati, bukan pada kepemilikan.
BalasHapusBetul sekali Amel....
Hapus