https://depositphotos.com/id/photos/kehilangan-seseorang.html
Tulisan
kali ini berkisah tentang kata “kehilangan”. Entah itu kehilangan dalam
arti yang sesungguhnya, ataupun kehilangan rasa dari pribadi seseorang. Kehilangan
bisa dikatakan sebagai pengalaman yang lumrah dan kerap kali dialami oleh
setiap orang di muka bumi.
Sebelum membahas lebih jauh, mari kita pahami terlebih dahulu definisi
dari kehilangan. Sebab, pada dasarnya, setiap orang tentu pernah mengalami
kehilangan, dalam berbagai bentuk dan situasi.
KBBI
mendefinisikan kehilangan sebagai bentuk pasif dari menghilangkan, atau
menderita sesuatu karena hilang. Kehilangan juga bisa diartikan sebagai
tindakan atau fakta tidak mampu menjaga atau memelihara sesuatu atau
seseorang. Kehilangan merupakan hukum alam, bahwa apa
yang kita miliki adalah titipan, tidak akan kekal selamanya.
Kehilangan
memang merupakan pengalaman yang menyakitkan, namun dengan mengingat ayat-ayat
Al-Qur'an dan mempercayakan diri kepada Allah, kita dapat menemukan kedamaian
dan ketenangan dalam hati. Ayat-ayat quran yang membahas tentang
kehilangan di antaranya adalah: surah Al-Baqarah ayat 155-157, surah Ali 'Imran
ayat 169, surah Al-Insyirah ayat 5-6, Surah Ar-Ra'd ayat 28, dan surah An-Nahl
ayat 96. Ayat-ayat ini menekankan pentingnya sabar, ikhlas, dan mengingat Allah
dalam setiap ujian dan cobaan, termasuk kehilangan.
Menurut
saya, kehilangan adalah perasaan ditinggalkan oleh sesuatu atau seseorang yang
dianggap milik kita. Misalnya ditinggalkan oleh harta benda, orang yang kita
cintai, jabatan, cinta kasih, maupun kepercayaan dari orang lain. Semua
peristiwa tersebut meninggalkan hati yang sedih, kecewa, bahkan terluka.
Kita
menganggap harta benda yang kita miliki bukan titipan Allah sehingga ketika
Allah mengambilnya kembali kita sangat merana. Keluarga yang berada dekat
dengan kita akan selamanya berada dalam pelukan, namun ternyata mereka akan meninggalkan kita karena dipanggil pulang oleh Sang Maha Khalik. Begitupula jabatan, cinta kasih, atau kepercayaan
dari orang lain, akan meninggalkan kita sesuai batas waktu yang telah
ditentukan.
Kilas
balik dengan pengalaman saya yang merasakan kehilangan segalanya. Dunia seakan kiamat, kehidupan pun hampa, dan tidak lagi mempunyai harapan untuk bahagia. Ketika
tahun 1998, sekitar bulan Mei. Ibuku meninggal dunia dikarenakan mempunyai
penyakit liver akut. Kesedihan dan luka hati masih sangat terasa sampai sekarang.
Walaupun puluhan tahun sudah berlalu, namun rasa sakit kehilangan masih melekat
erat dalam sanubari.
Saya
kehilangan orang yang paling dicintai, kehilangan rasa cinta kasih seorang ibu,
kehilangan doa-doa yang selalu dipanjatkan setiap sujud dalam salatnya. Dunia
pun gelap gulita namun memaksa diri untuk segera bangkit dari keterpurukan. Waktu
itu saya merasakan depresi yang sangat luar biasa, krisis kepercayaan kepada
Allah SWT. Dalam hati selalu bertanya, “Mengapa semua ini terjadi padaku?”
Kejadian
tersebut menimpa ketika saya masih duduk di bangku SMA kelas 2 pada salah satu SMAN
di Kota Bandung. Titik kesedihan yang paling dalam terjadi padaku, sampai ingin
menyusul kepergian ibuku.
Tidak
mudah bagi saya, bangkit dari kesedihan karena kehilangan seorang ibu. Namun,
secara perlahan Allah membimbingku untuk terus melanjutkan hidup dengan menelan
kepahitan. Sering saya mendengar pesan moral dan nasihat dari bapak, keluarga
besar, guru-guru, para ustad, dan teman-temanku bahwa dibalik semua yang
terjadi ada hikmah yang Allah berikan pada kita. Saya hanya menangis dan
berpikir bahwa mereka dapat berbicara seperti itu, karena tidak merasakan apa
yang aku rasakan. Namun ada satu kalimat dari temanku yang membuat saya bangkit
lagi yaitu “Andai ibumu masih hidup dan masih tinggal bersamamu, dia akan
menderita karena sakitnya.”
Kalimat
tersebut yang menusuk jantungku, karena memang benar andaikan ibuku bertahan
hidup pasti sedang menderita, mungkin dalam jangka waktu yang panjang. Karena para
dokter sudah tidak bisa menanganinya lagi, apalagi saya yang hanya seorang
gadis muda yang tidak tahu menahu tentang pengobatan. Tentunya saya tidak akan
sanggup melihat orang yang paling dicintai menderita dalam waktu lama, sementara
saya tidak mampu menolong sedikit pun.
Hari
demi hari saya lalui tanpa keberadaan seorang ibu, pahit dan sulit dirasakan
namun semuanya harus saya jalani. Saya masih mencari makna dan hikmah dari kepergian
ibuku. Tiga tahun kemudian, ketika saya masih di bangku kuliah semester tiga,
saya memutuskan untuk menikah. Keputusan yang sangat sulit namun saya yakin
akan memperbaiki kisah hidupku.
Gadis
muda yang polos tanpa pengalaman atau pengetahuan apapun tentang berumah tangga
malah mendapat ujian dan cobaan yang beragam. Ternyata dengan menikah masalah
hidup bukannya berkurang namun bertambah. Alhamdulillah, karena persamaan
prinsip dan keyakinan yang saya miliki bersama suami, masalah besar menjadi
kecil dan masalah kecil menjadi tidak ada. Walau demikian, saya belum
sepenuhnya menyadari hikmah dari kehilangan ibuku.
Saya
tidak putus asa, selalu memanjatkan doa kepada Allah SWT agar ditunjukkan
hikmah dari kehilangan ibuku. Kini ketika usia pernikahanku sudah mencapai
puluhan tahun (24 tahun) lamanya, baru menyadari sepenuhnya tentang segala
hikmah dan makna dari kehilangan ibuku. Mungkin dulu juga sudah banyak
hikmahnya, namun sayang saya tidak pernah menyadarinya. Di antara hikmahnya
yaitu: saya menjadi wanita kuat, hebat, mandiri, tangguh, dan mampu bertahan
dalam kepahitan hidup, dan yang paling penting saya tumbuh menjadi wanita yang
tidak pernah putus asa dan pantang menyerah dalam segala hal. Bila ibuku masih
ada, kemungkinan besar saya tidak akan menjadi sekuat ini dalam menjalani
kehidupan.
Sesi
kedua kehilangan mendalam yang saya alami adalah kehilangan bapak tercinta. Tepatnya pada hari Kamis,
10 April 2025, bapak meninggalkan kami semua. Peristiwa itu membuatku terpukul dan menempatkan pada
kesehatanku yang memburuk. Sedih yang saya rasakan sampai ke dasar hati. Sakit memang,
sedih juga betul, namun mungkin tidak sesakit ketika ditinggalkan ibu dahulu. Mungkin
dikarenakan saya sudah dewasa, sehingga dapat mengendalikan emosi jiwa, atau
mungkin telah mendapatkan kesakitan yang melebihi peristiwa ini.
Dari
pengalaman hidup yang saya lalui, dengan mudah saya mendapatkan makna dan hikmah di
balik semuanya. Ibu dan bapakku bukan milikku, mereka titipan yang Allah
berikan pada kami anak-anaknya. Dan ketika mereka diambil kembali oleh pemiliknya
tentunya kami harus merelakannya. Tidak saya pungkiri, air mata tidak
henti-hentinya membasahi pipi disebabkan kesedihan ditinggalkan bapak. Namun saat
ini saya lebih ikhlas dan ridha atas takdir yang diberikan-Nya.
Satu
hal yang tidak pernah lepas dari hati, adalah kerinduan yang mendalam terhadap
ibuku, dan mungkin sekarang kerinduan itu menjadi bertambah kepada bapak. Sudah
puluhan tahun berlalu ditinggalkan oleh ibuku, namun kerinduan di hati tetap
menyala. Nama ibuku tetap hadir dalam setiap langkahku, dalam setiap kalimat
yang saya tuliskan, dalam buku yang saya terbitkan selalu ada nama ibuku menghiasinya.
Segala kenangan semasa hidup mendiang ibuku selalu hadir dan menari dalam
anganku, dan sekarang menyusul kenangan bapak yang akan tetap hidup menemani hari-hariku selanjutnya.
Ya Allah,
Ya Tuhanku, terima kasih Engkau telah memberikan seorang Ibu dan Bapak yang hebat
dan luar biasa pada kami. Biarkanlah kerinduan ini tetap abadi dan tersimpan
dalam setiap doa pada-Mu. Peluklah mereka dalam cinta kasih-Mu, selamatkan
mereka dari siksa kubur dan siksa api neraka, Aamiin Yaa Rabbal’alaamiin. Akhirnya
semua kehilangan harus diterima dengan seikhlas-ikhlasnya. Mei, 1998; April, 2025.
EAS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar