https://experiencelife.lifetime.life/article/the-art-of-forgiveness/
Judul tulisan kali ini terinspirasi dari buku karya Robert Enright yang
berjudul Forgiveness is a Choice, yang memaparkan fase-fase pemaafan
yang dikenal sebagai “Enright’s Model”. Fase-fase pemaafan tersebut adalah
sebagai berikut:
1.
Uncovering phase
Fase ini menekankan pemahaman dan pengungkapan atas rasa “sakit”
yang dialami. Dalam fase ini kita mengenali gejala dalam diri tentang rasa
sakitnya yang dialami. Apanya yang sakit? Sakitnya di mana?
2.
Decision phase
Fase ini mulai mempertimbangkan untuk memaafkan dengan segala
konsekuensi positif-negatifnya. Fase ini adalah fase berpikir, kira-kira layak
tidak perbuatannya untuk dimaafkan? Apa makna positifnya? Apa makna negatifnya?
3.
Work phase
Fase ini mengubah sudut pandang dan berusaha memahami dan memaklumi
terhadap orang yang menzalimi. Fase ini sering disebut fase kerja memaafkan
karena sudah memahami dan melihat sisi positifnya. Dan dia menyadari bahwa
orang yang bersalah juga adalah manusia biasa yang mempunyai perspektif sendiri
tentang sikap dan karakternya terhadap orang lain.
4.
Deepening phase
Pada fase ini sudah mulai memutuskan, menyadari, bahwa ia tidak sendiri, setiap orang termasuk dirinya juga butuh dimaafkan sehingga perlu juga untuk memaafkan. Di sini adalah fase kebanggaan diri, karena sudah memahami bahwa manusia bisa memaafkan dan juga dimaafkan.
Pemaafan berbeda dengan condoning (tidak menganggap satu perbuatan
keliru dan perlu dimaafkan, exusing (tidak menganggap yang bersalah
harus tanggung jawab atas perbuatannya), forgetting (menyingkirkan
kesadaran akan kesalahan dan yang bersalah), pardoning (memiliki hak
untuk “menyakiti/menyalahi” dari lembaga/nilai yang dipandang sah, dan reconciliation (memulihkan keadaan).
Mengapa kita harus memaafkan orang yang telah bersalah? Atau kita
harus memaafkan diri dari kesalahan masa lalu? Ada beberapa alasan mengapa kita
harus memaafkan di antaranya yaitu: pemaafan membuat kita bebas dari pengaruh
yang merusak seperti kemarahan dan dendam, pemaafan membuat kita bebas dari
luka masa lalu dan memahami masa depan dengan perspektif baru, pemaafan membawa
kesembuhan kesatuan kembali kehidupan bersama yang baru, pemaafan membuat kita
mengelola hidup secara lebih realistis tanpa terpenjara oleh rasa sakit,
pemaafan membuktikan kita masih manusia yang tidak hanya butuh memaafkan, namun
juga butuh dimaafkan, dan yang terakhir pemaafan memungkinkan kita memperoleh
energi lebih banyak (yang selama ini kita gunakan untuk menahan luka dan sakit
hati) untuk mewujudkan harapan dan masa depan.
Kemudian apa itu pemaafan? Kita pahami definisi pemaafan dari salah
satu sumber yang saya dapatkan. Pemaafan adalah suatu proses yang terjadi
sengaja dan sukarela, saat seorang “korban” mengalami perubahan dalam perasaan
dan perilaku terhadap yang berbuat salah, menyisihkan emosi-emosi negatif,
seperti dendam, dan semakin mampu berharap agar “yang berbuat salah” itu
baik-baik saja.
Menurut definisi di atas, pemaafan itu membutuhkan proses, dan
proses itu proses yang disengaja (ada niat) tidak secara otomatis namun secara
sukarela. Ketika memaafkan sudah tidak ada lagi emosi negatif terhadap orang
yang melakukan kesalahan. Apabila memerlukan proses tentunya membutuhkan waktu
atau durasi dalam memaafkan. Waktu yang dibutuhkan untuk berproses setiap orang
tentu berbeda-beda, sesuai dengan sifat dan karakternya.
Kata maaf itu bukan hanya diucapkan oleh mulut saja. Bukan juga dilakukan
kepada orang asing atau orang yang baru saja bertemu. Kata maaf atau pemaafan selain
diucapkan oleh mulut, juga disertai penyesalan dan tindakan yang nyata. Bukan sekadar
basa-basi namun harus di lanjutkan dengan melibatkan aksi. Ketika halal bihalal
setelah idul fitri, kita akan mengucapkan permohonan maaf lahir batin, walaupun
pada orang yang baru kita jumpai di hari itu. Pemaafan yang semacam itu
dinamakan pemaafan yang basa-basi, karena kita tidak kenal dengan orangnya,
baru bertemu hari itu, hanya kebetulan saja numpang lewat pada hari tersebut.
Menurut Derrida (filsuf Perancis), maaf yang bersyarat baginya,
bukanlah sebenar-benar maaf. Ia sejatinya adalah transaksi timbal balik
ekonomis, yang dengan satu dan cara lain punya daya tawar politis tertentu,
lebih-lebih jika ia mengharuskan adegan-adegan penyesalan. Maaf itu menjadi
bersyarat karena ia diberikan hanya jika yang bersalah melakukan permintaaan
maaf, pengakuan, penyesalan, dan/atau penebusan.
Maaf murni adalah maaf yang diberikan secara unconditional. Di
sini maaf merengkuh asosiasi maknanya yang tidak bisa dipisahkan (indissociable)
yaitu memberi (for-give, par-donner)
bukan meminta atau menuntut.
Derrida juga mengatakan, bahwa orang sebenarnya tak benar-benar
memaafkan, ketika yang ia maafkan adalah hal-hal yang dengan mudah termaafkan
atau “bisa-dimaafkan”. Ironisnya, yang begitu ingin dimaafkan justru hal-hal
yang tidak termaafkan, yakni ketika suatu kejahatan sudah terlalu kejam untuk
sekadar dimaafkan. Apakah Anda memahami kalimat ini?
Tapi justru saat berhadapan dengan kejahatan yang terlalu kejam
untuk …. dan karena itu tidak bisa dimaafkan. Itulah maaf, kalau benar ia tak
mustahil terjadi menjadi murni. Di sinilah aporia: “memaafkan hanya yang tak
termaafkan.” (forgiveness forgives only the unforgivable).
Pada kehidupan nyata, secara umum manusia memaafkan kesalahan dari
orang-orang yang melakukan kesalahan yang mudah dimaafkan. Sedangkan untuk kesalahan-kesalahan
yang sangat kejam menurut umum, biasanya tidak memaafkan dan akan timbul dendam
untuk membalasnya. Inilah hal yang keliru, karena menurut Derrida kata maaf itu
untuk kesalahan-kesalahan yang kejam, bukan untuk kesalahan yang mudah
dimaafkan.
Begitu banyak hadist dan ayat qu’ran yang membahas tentang pemaafan
kesalahan orang lain. Seperti yang tertuang dalam Q.S As-Syuro ayat 40 dengan arti: Dan balasan
suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barang siapa memaafkan
dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah.
Sedangkan salah satu hadist yang membahas tentang pemaafan adalah
HR. Muslim yang berbunyi: “Dan tidaklah Allah Ta’ala menambah kepada seorang
hamba dengan sifat pemaaf kecuali kemuliaan.”
Berdasarkan ayat Qur’an dan hadist di atas, kita sebagai seorang
muslim dianjurkan agar dapat memaafkan kesalahan orang lain, karena ada
kemuliaan yang Allah janjikan untuk setiap hamba yang pemaaf.
Selain memaafkan kesalahan orang lain, sebagai manusia biasa kita
sering sulit dengan memaafkan diri sendiri terhadap apa yang telah kita lakukan
di masa lalu. Ada baiknya kita memaafkan diri yang bersalah. Namun, walaupun
kepada diri sendiri banyak sekali orang yang sulit untuk memaafkannya. Memang benar,
kata maaf membutuhkan proses dan waktu serta ilmu yang mumpuni.
Ada beberapa tahapan untuk memaafkan diri, yaitu: 1) Responsibility
(mengakui telah melakukan kesalahan serta siap bertanggungjawab sebagai
akibatnya; 2) Remorse (menyesal dan merasakan bersalah, sekaligus
memunculkan tekad untuk memperbaiki atau tidak mengulangi; 3) Restoration
(kesediaan untuk memperbaiki, mengembalikan, memulihkan kembali, kepada orang
yang disakiti; dan 4) Renewal (memaafkan diri sendiri, berpikir dan
bertindak serta tidak terpenjara oleh kesalahan di masa lalu dan siap
beraktivitas lagi.
Sesuai dengan judul tulisan ini, forgiveness is a choice atau
pemaafan adalah sebuah pilihan kita sebagai manusia. Hal ini untuk kebaikan
diri kita sendiri, bukan untuk orang yang bersalah atau yang berbuat jahat kepada
kita. Saya menyadari, ketika orang lain melakukan kesalahan atau kejahatan
kepada diri ini, saya pun berpotensi untuk melakukan kesalahan atau kejahatan yang
sama kepada orang lain.
Dengan demikian, tidak ada salahnya bagi kita untuk berusaha memaafkan
setiap tindakan orang lain yang telah menyakiti hati dan jiwa kita. Hal ini
agar kita terbebas dari emosi negatif serta pengaruh buruk dalam kehidupan, sehingga
kita akan dapat bertumbuh menjadi pribadi tangguh. Semoga kita termasuk orang-orang
yang mudah memaafkan kesalahan orang lain, maupun kesalahan diri sendiri.
Aamiin Yaa Rabbal’ Aalaamiin. (EAS).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar