https://id.pngtree.com/free-backgrounds-photos/surat-cinta-pictures
Cinta adalah anugerah terindah
yang diberikan oleh Sang Maha Pencipta. Setiap orang di muka bumi tanpa terkecuali,
akan merasakan manis dan pahitnya cinta. Apabila semua orang dapat merasakan
cinta, tentu ada sisi lain yang juga akan dialami, yaitu patah hati. Tulisan ini
akan mengulas bagaimana seorang filsuf merasakan nikmat cinta dan sekaligus pahitnya
patah hati. Sebelum melangkah lebih jauh ke kisah patah hati seorang filsuf,
ada baiknya kita memahami terlebih dahulu definisi filsuf itu sendiri. Siapakah
mereka?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), filsuf berarti ahli filsafat atau ahli pikir, atau orang yang
berfilsafat. Filsuf adalah sebutan bagi seseorang yang mendalami filsafat,
yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala
yang ada, sebab, asal, dan hukumnya.
Dengan kata lain, filsuf adalah seseorang
yang berdedikasi untuk memahami dan mengkaji hakikat realitas, serta mencari
prinsip dasar yang mendasari segala sesuatu. Mereka adalah orang-orang
yang berpikir secara mendalam dan kritis, menggunakan akal budi untuk memahami
dunia dan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang
kehidupan.
Berdasarkan sumber yang saya peroleh, terdapat beberapa surat cinta
dari para filsuf untuk pujaan hati mereka. Silakan simak surat-surat tersebut
berikut ini:
1.
Surat Kierkegaard kepada Regina
Sebenarnyalah, aku datang, menulis, berpikir, berbicara, ragu-ragu dan mendesah. Bergema kamarku oleh suaraku sendiri, tentang dirimu, satu-satunya orang yang kupercaya, yang berani, menceritakan apa yang sekarang riuh mengalir dalam diriku, namun sekali lagi hilang dalam lamunan sunyi.
Ketahuilah, bahwa setiap kali engkau mengulang kata bahwa engkau mencintaiku, dari relung jiwamu yang terdalam, seolah-olah aku mendengarnya untuk pertama kali. Seperti seorang pria yang ingin memiliki seluruh dunia. Ia membutuhkanmu seumur hidup untuk mengamati kemegahannya. Demikian pula aku, juga butuh seumur hidup untuk merenungkan semua kekayaan yang terkandung dalam cintamu.
Ketahuilah bahwa setiap kali engkau dengan sungguh-sungguh meyakinkan aku bahwa engkau selalu mencintaiku, baik saat bahagia maupun saat sedih. Karena engkau tahu bahwa kesedihan hanyalah nostalgia Ilahi dan bahwa segala sesuatu yang baik dalam diri manusia adalah anak kesedihan. Ketahuilah bahwa engkau sedang menyelamatkan jiwaku dalam api penyucian.
Setiap kali engkau merasakan matahari yang segar, tolong pikirkan aku, karena pikiran dan jiwaku benar-benar mengarah ke matahari itu, dan aku memilih keirnduan yang mendalam untukmu, matahari di antara wanita-wanita.
(Soren Kierkegaard)
2.
Surat Nietzche kepada Lou Salome
Lou….
Bahwa aku sangat kesakitan tidak masalah jika dibandingkan dengan
masalahmu.
Lou sayang…
Aku belum pernah bertemu orang yang lebih menyedihkan dibandingkan kamu. Tidak sadar diri, meskipun pintar. Mampu memanfaatkan apa yang diketahui, namun naif, tak menyadari kekurangan.
Tulus dan adil dalam hal kecil, namun keras kepala dan secara umum,
dalam sikap total terhadap kehidupan; Munafik, Tidak peka untuk memberi atau
menerima. Tidak punya hati dan tidak bisa mencintai. Dalam rasa selalu sakit
dan di ambang kegilaan. Tidak tahu rasa terima kasih, tidak punya malu terhadap
yang selama ini tulus membantu.
3.
Surat Hannah Arendt kepada Heiddeger
…… Jangan lupakan aku, dan jangan lupakan betapa banyak dan
dalamnya aku tahu bahwa cinta kita telah menjadi berkah hidupku.
Pengetahuan ini tidak dapat digoyahkan bahkan hari ini, ketika
sebagai jalan keluar dari kegelisahanku.
Aku telah menemukan rumah dan rasa memiliki dengan seseorang yang mungkin paling tidak anda pahami…..
(Aku mencium kening dan matamu, Hannah-mu)
4.
Surat Simone de Beauvoir kepada JP Sartre
Aku tidak memikirkan hari ketika aku akan bertemu denganmu lagi…..
Aku tidak perlu melihatmu…..
Aku tidak pernah terpisah darimu…..
Aku masih di dunia yang sama denganmu.
Aku mencintaimu.
Engkau sebenarnya tidak meninggalkanku…………
5.
Surat Musthofa Lutfi Al-Manfaluthi kepada Magdalena
Benarkah, Magdalena, kita berdua telah putus dan kita sudah menjadi dua orang asing yang tak mengenal satu sama lain? Salah satu dari kita tidak lagi ingat kepada temannya yang lain. Kecuali seperti mengingat impian di masa kecil, yang bekasnya telah terhapus oleh berlalunya hari dan lewatnya tahun!
Benarkah jika kita bertemu di suatu jalan, masing-masing akan meneruskan perjalanannya tanpa menyapa temannya? Benarkah jika kita berada dalam suatu pertemuan, antara hubungan kita berdua tidak lebih dari hubungan biasa antara lelaki dan perempuan yang lain?
Benarkah jika kita berada dalam suatu pertemuan, tak ada yang kita bicarakan kecuali tentang cuaca dan suhu udara?
Alangkah cepatnya peredaran waktu dan alangkah aneh tindak-tanduk peristiwanya. Apakah dalam sehari semalam saja semua harapan yang kita bina dengan baik, dengan mencurahkan segala penderitaan dan kepedihan, mencucurkan seluruh air mata yang kita miliki, berubah begitu cepat? Semua itu akan menjadi kisah usang yang telah dibungkus dengan kisah baru?
Beginikah rasanya hari kiamat? Beginikah rupanya dunia yang menjadi
hancur lebur? Beginikah tampak Bintang gemintang yang berjatuhan di angkasa,
langit terkatup seperti tertutupnya sebuah buku?
(Mustofa Lutfi-Magdalena)
6.
Surat Kahlil Gibran, dalam buku “Broken Wings”
Besok takdir akan membawa dirimu ke tengah keluarga yang sejahtera, namun akan membawaku kepada perjuangan batin dan kesengsaraan. Kau akan berada di rumah orang yang paling bahagia, sedang aku akan memasuki gerbang kematian. Kau akan diterima dengan ramah, sedang aku akan berada dalam belitan kesepian.
Namun aku akan mendirikan patung cinta, dan memujanya di dalam lembah kematian. Cinta akan menjadi satu-satunya selimutku; akan kupakai seperti sehelai baju dan akan ku minum bagaikan meneguk anggur.
Cinta akan membangunkan aku di waktu subuh dan membawaku ke medan yang jauh.
Di siang hari cinta kan membimbingku ke bawah rimbun pepohonan di mana aku berteduh bersama burung-burung dari panasnya sengatan matahari.
Di sore hari sebelum matahari terbenam, cinta memerintahkanku beristirahat sambil mendengarkan nyanyian alam dan memperlihatkan padaku bergeraknya awan di langit biru yang meremang.
Di malam hari cinta akan memelukku dan aku pun tertidur lalu bermimpi tentang dunia sangat indah, yang hanya ada dalam jiwa-jiwa para penyair dan pecinta.
Cinta wahai kekasih, akan tinggal denganku hingga akhir hayatku. Bahkan sesudah tiadaku, dengan seizin Tuhan, kami pun akan tetap bersatu.
(Kahlil Gibran)
Itulah enam surat
cinta dari para filsuf yang menggambarkan kekecewaan, harapan, cinta kasih,
kerinduan, kemarahan, dan kegelisahan yang dirasakan dalam jiwanya. Kisah-kisah
tersebut bukanlah fiksi, melainkan bagian nyata dari kehidupan mereka── gejolak
dalam batin para filsuf saat menghadapi pahitnya cinta.
Namun, para filsuf menjadikan semua kepahitan hidup mereka sebagai motivasi untuk menggunakan akal dan budinya dalam menghasilkan karya-karya besar melalui pemikiran kritis tentang berbagai konsep kehidupan umat manusia. Kegagalan dalam meraih cinta dari kekasih hati tidak membuat mereka putus asa atau menghancurkan seluruh hidupnya. Sebaliknya, luka akibat patah hati justru menuntun mereka untuk melahirkan karya-karya besar yang bermanfaat bagi umat manusia lainnya.
Bagi kita
sebagai orang biasa, sangat wajar jika mengalami duka lara dan kekecewaan
karena patah hati. Yang perlu kita lakukan adalah mengelola semua emosi negatif
dalam jiwa menjadi tindakan yang positif dan bermanfaat bagi kehidupan kita.
Akhirnya, semoga kita senantiasa mendapatkan cinta dari Allah SWT, di dunia
maupun di akhirat. Aamiin yaa Rabbal ‘Aalamiin. (EAS).