https://id.pngtree.com/free-png-vectors/orang-baik
Menjadi
orang baik sering diasosiasikan dengan memiliki banyak teman, diterima dalam
lingkungan sosial, mendapatkan rezeki berlimpah, dan mendapatkan kesuksessan
yang diharapkan. Betulkah demikian? Perintah menjadi orang baik itu, sering
kita dengar secara langsung maupun tidak langsung. Khususnya sebagai orang tua
dan guru yang memberikan nasihat kepada anak atau muridnya bahwa “Kamu harus
menjadi orang baik!”, “Apapun keadaannya kamu harus tetap menjadi orang baik!”
dan banyak lagi perintah-perintah yang mengharuskan agar kita menjadi orang
baik.
Masalahnya,
bagaimana sebenarnya cara menjadi orang baik itu? Apa yang dimaksud dengan
orang baik? Baik dilihat dari segi apa? Baik menurut persepsi siapa? Sudahkah
kita mencontohkan dan memperlihatkan bagaimana perilaku orang baik dalam kehidupan
sehari-hari? Banyak orang tua dan guru yang menasihati anak-anaknya untuk
menjadi orang baik, tetapi sering kali mereka tidak pernah menunjukkan secara
konkret bagaimana caranya menjadi orang baik atau proses menuju kebaikan
tersebut. Akibatnya, konsep “orang baik” hanya menjadi sebuah angan-angan atau
khayalan yang terbentuk dari keterpaksaan, tanpa pemahaman yang mendalam atau
tealadan yang nyata.
Hal inilah
yang membuat saya berpikir secara serius. Sebagai orang dewasa yang telah
menjadi orang tua, baik di rumah maupun di sekolah, apakah kita benar-benar
telah menunjukkan proses menuju kebaikan tersebut?
Saya
sering berasumsi bahwa semua anak atau murid sudah memahami definisi “orang
baik” dan bagaimana cara menjadi orang baik. Namun ternyata, asusmi dan persepsi
saya meleset. Banyak anak yang masih bingung dengan pengertian “orang baik” dan
bagaimana menjalankan kebaikan dalam kehidupan sehari-hari. Kebingungan ini
bahkan lebih terasa pada remaja, yang sering kali belum sepenuhnya mengenal
jati diri mereka sendiri.
Mungkin
dalam pikiran mereka, orang baik adalah seseorang yang tidak banyak bertingkah,
hanya duduk diam tanpa berkata apa-apa, dan pasrah terhadap perlakuan orang
lain, apa pun itu. Orang baik dianggap tidak melawan, meski diperlakukan dengan
tidak adil. Itulah kekeliruan yang sering saya temui dalam kenyataan.
Dengan
kata lain, ada anggapan bahwa orang baik harus menerima semua tindakaan yang
diberikan oleh orang lain, baik itu tindakan yang baik maupun buruk. Padahal,
pemahaman seperti itu perlu disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang tepat. Menjadi
orang baik bukan berarti harus selalu pasrah, tetapi tetap bertindak sesuai
dengan prinsip kebenaran dan keadilan.
Saya
akan melihat pengertian dan ciri orang baik dari perspektif agama Islam. Menurut
Islam, pengertian orang baik adalah orang yang memiliki keimanan yang baik,
berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi orang lain. Ciri-ciri orang baik menurut Islam
adalah jujur, ikhlas, sabar, pintar, pekerja keras, bertanggung jawab, peduli sesama,
ramah dan santun, tidak resek dengan orang lain.
Selain
itu, terdapat beberapa contoh perbuatan baik menurut Islam, yaitu: (1) beriman
kepada Allah, hari akhir, malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi; (2) memberikan
harta kepada orang miskin, anak yatim, dan orang-orang yang meminta-minta; (3)
memerdekaan hamba sahaya; (4) mendirikan shalat; (5) menunaikan zakat; (6)
menepati janji; (7) memaafkan orang yang telah menyakiti; dan (8) berusaha
untuk berbuat baik kepada musuh.
Itulah
pengertian dan ciri yang dijelaskan dalam agama Islam. Sekilas tampak mudah dan
ringan untuk menjalankannya. Namun kenyataannya, sulit melaksanakan semua
perbuatan baik tersebut. Mengapa hal ini bisa terjadi? Ada beberapa faktor
penyebabnya, di antaranya adalah karena kita memiliki hati dan perasaan, logika,
intuisi, imajinasi, naluri, dan nilai-nilai yang memengaruhi setiap tindakan
yang akan dilakukan. Selain itu, panca indera kita sering kali mudah terkecoh oleh
apa yang terlihat di depan mata. Bahkan, akal pun terkadang bisa menyangkal kenyataan
yang ada.
Banyak
pertimbangan yang muncul ketika seseorang akan melakukan suatu kebaikan, di
antaranya alasan logis, pengalaman empiris, atau bahkan penolakan dalam hati. Kita
sering merasa enggan melakukan sesuatu bila dirasa tidak ada manfaatnya atau
terasa tidak masuk akal. Misalnya, ketika kita harus berbuat baik terhadap
orang yang telah berbuat jahat kepada kita. Secara logika dan akal sehat, sesuai
hukum aksi-reaksi, seharusnya kebaikan dibalas dengan kebaikan, dan kejahatan
dibalas dengan kejahatan. Namun, dalam ajaran Islam, hal tersebut tidak dianjurkan.
Islam justru mendorong kita untuk membalas kejahatan dengan kebaikan. Penerapan
nilai kebaikan seperti ini sering kali menjadi tantangan, terutama bagi remaja
atau anak-anak yang belum dewasa.
Pelajaran
kebaikan dan akhlak mulia sering diberikan dari mulai sekolah dasar hingga
sekolah menengah atas, baik secara terpisah ataupun tergabung dalam mata pelajaran
lainnya. Namun, mengapa dalam penerapannya masih belum tergambar dengan jelas?.
Begitupun pada Kurikulum Merdeka, yang sangat menekankan P5 (Projek Penguatan
Profil Pelajar Pancasila). Dalam P5, karakter-karakter mulia yang wajib dimiliki
oleh semua siswa, mulai jenjang SD, SMP, hingga SMA sangat ditekankan. Sayangnya,
P5 tersebut seringkali hanya berhenti pada tahap evaluasi dan panen karya saja,
tanpa terimplementasikan dalam keseharian siswa.
Semua
yang diajarkan dalam P5 adalah perbuatan-perbuatan atau tindakan-tindakan sebagai
proses menjadi “orang baik”. Namun, mereka masih belum menyadarinya, mengapa
pembelajaran P5 harus dilakukan di setiap sekolah? dan apa manfaatnya bagi
mereka? Mungkin disebabkan juga karena pada otak mereka masih berasumsi bahwa PBM
(Proses Belajar Mengajar) di sekolah dilakukan hanya sebuah rutinitas dan
pemenuhan kewajiban seorang pelajar saja, yang ujung-ujungnya mendapatkan nilai
baik dan memuaskan. Tanpa menyadarinya, hal itu dilakukan untuk diterapkan
dalam kehidupan nyata.
Oleh
sebab itu, kita harus menunjukkan cara menerapkan karakter orang baik melalui
contoh yang sangat nyata. Misalnya, kita wajib menunjukkan saat mereka harus
berkata jujur, jangan salahkan ketika mereka berkata apa adanya, sadarkan
mereka ketika harus bergotong royong dengan sesama teman dan bukan gotong
royong saat membuli teman atau gotong royong saat mencontek jawaban ujian. Pahamkanlah
bagaimana caranya kita harus ikhlas dan sabar dalam segala hal, berilah contoh perbuatan
yang nyata tentang menjadi pekerja keras serta tidak putus asa, disiplin,
tanggung jawab, peduli sesama, ramah dan santun secara keseharian.
Dengan
ditunjukkan, dan diberi contoh, serta pemahaman yang berkelanjutan, saya yakin mereka
akan sadar dan paham juga. Pada akhirnya, semua definisi perbuatan baik yang
harus dimiliki oleh orang baik akan terinternalisasi dalam diri mereka. Jangan malah
sebaliknya, kita mengajarkan untuk bersikap ramah dan santun, namun ketika kita
bertatap muka dengan mereka, kita malah cuek dan acuh tak acuh. Niscaya, semua
konsep ramah dan santun itu akan hilang di benak mereka.
Barulah
setelah mereka mengerti dan paham pengertian “orang baik” dan “kebaikan” sesuai
dengan penerapan keseharian, kita masukkan konsep yang lebih tinggi lagi, yaitu
konsep melatih diri untuk tetap berbuat baik ketika kita tidak diperlakukan dengan
baik oleh orang lain. Konsep ini begitu tinggi, dan sulit dijangkau; jangankan
oleh anak remaja oleh orang dewasa pun seringkali sangat sulit. Namun, tidak
ada salahnya kita tanamkan secara tuntas konsep menjadi “orang baik” kepada
anak atau murid. Setujukah Anda dengan pendapat saya?
Dasar
pemikiran saya untuk memberikan ketuntasan konsep “orang baik” kepada anak atau
murid berasal dari berbagai pengalaman pribadi maupun pengalaman orang lain. Penilaian
ini menunjukkan bahwa orang baik telah disiapkan oleh Allah SWT sejak kecil. Sejarah
pun bercerita, seperti kisah para Nabi dan Rasul, bahwa mereka sudah
dipersiapkan menjadi orang baik bahkan sangat baik. Kehidupannya selalu dipenuhi
ujian dan cobaan yang sangat luar biasa sejak kecil. Namun, Allah tetap
menolong mereka, memberikan kekuatan, dan mengutus pendamping sebagai teladan
bagi orang-orang tersebut. Dengan itu, para kekasih-Nya (Nabi dan Rasul) mampu memetik
hikmah, pelajaran serta pesan cinta dari Allah. Akhirnya mereka menjadi sosok
yang sangat luar biasa, berakhlak mulia, dan menjadi contoh atau panutan untuk umatnya.
Jadi,
konsep “orang baik” harus diberikan kepada anak sejak dini. Siapa tahu, anak
atau murid kita adalah orang yang telah dipersiapkan untuk menjadi “orang baik”
yang sesungguhnya di hadapan Allah SWT. Kitalah yang diberikan tugas mulia sebagai
pembimbing dan teladan bagi mereka.
Sebagai
penutup tulisan hari ini, ada pernyataan orang bijak yang selalu saya ingat,
yaitu: “Jadilah orang baik, karena bila kita menjadi orang baik, ada dua kemungkinan
yang akan terjadi. Pertama, kita akan
bertemu dengan orang baik lainnya, dan yang kedua, kita akan ditemukan oleh
kebaikan.” Semoga kita semua diberikan kekuatan untuk menjadi “orang baik” oleh
Allah SWT. Aamiin Ya Rabbal’alamin. (EAS).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar