https://www.tokopedia.com/tropenbookstore/masyarakat-egaliter-louise-marlow
Satu kata yang akan saya bahas dalam tulisan kali ini adalah “egaliter”.
Istilah “egaliter” memang terasa asing bagi sebagian orang, tak terkecuali bagi
diri saya sendiri. Kata “egaliter” berkaitan erat dengan dunia politik. Meski
begitu, sebenarnya penerapan konsep “egaliter” dapat dilakukan di berbagai
bidang serta dalam segala situasi dan kondisi.
Oleh sebab itu, menurut saya, sangat penting bagi seseorang untuk
mengetahui definisi dan makna sesungguhnya dari kata ini. Lantas, sebenarnya,
apa yang dimaksud dengan istilah “egaliter”?
Seperti biasa, saya akan membahas arti dan definisi dari kata “egaliter”
berdasarkan beberapa sumber yang saya dapatkan. Yang pertama; mengutip dari
laman kbbi.web.id, “Egaliter” memiliki
arti bersifat sama; sederajat. Adapun
sinonim yang benar sesuai dengan tesaurus bahasa Indonesia adalah sama,
sederajat, dan setingkat. Kedua; “Egaliter” menurut Wikipedia adalah aliran
pemikiran yang percaya bahwa semua orang memiliki nilai yang sama dan harus
memiliki status yang setara. Kata “egaliter” berasal dari bahasa Prancis égal
yang berarti "sama".
Sedangkan menurut sumber lain, “egaliter” merujuk pada kondisi di
mana semua individu memiliki kesempatan yang sama dan diperlakukan dengan adil,
tanpa memandang latar belakang, ras, agama, jenis kelamin, atau status sosial. Konsep
“egaliter” lebih luas mencakup berbagai aspek, seperti kesempatan yang sama
dalam pendidikan dan pekerjaan; hak yang sama dalam hukum dan politik; serta
akses yang sama terhadap sumber daya dan layanan.
Apakah egaliter sama dengan
definisi persamaan gender? Menurut sumber yang saya dapatkan, persamaan gender
adalah konsep yang lebih spesifik, yang merujuk pada kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti kesempatan yang
sama dalam pendidikan dan pekerjaan; hak yang sama dalam hukum dan politik;
akses yang sama terhadap sumber daya dan layanan; serta penghapusan
diskriminasi dan stereotif gender.
Dari informasi di atas, kita dapat membedakan tentang definisi egaliter
dan persamaan gender. Dengan pemahaman ini, kita tidak lagi bingung atau
salah mengartikan istilah “egaliter”, sehingga dapat memahami tulisan ini
dengan lebih baik.
Dalam agama Islam; konsep egaliter telah diajarkan oleh para
Nabi dan Rasul. Sebagaimana kita pahami dalam sejarah, para nabi hadir membawa
sistem kepercayaan alternatif yang egaliter dan membebaskan. Ajaran
yang mereka sampaikan menegaskan bahwa ketundukan dan kepatuhan hanya diberikan
kepada Allah, bukan kepada manusia. Sebab,
kebenaran berasal dari Allah, maka
kekuasaan yang sejati pun berada pada genggaman-Nya, bukan ditangan raja atau
pemerintah.
Apa yang menjadi ciri bahwa seorang pemimpin itu bersikap egaliter?
Ciri khas utama dari gaya kepemimpinan ini adalah sikap rendah hati dan tidak
pernah menempatkan diri sebagai petinggi atau golongan elit yang sulit
dijangkau oleh bawahannya. Pemimpin egaliter cenderung memposisikan dirinya sejajar
dengan orang-orang yang ia pimpin atau setara dengan mayoritas masyarakat.
Dengan demikian, meskipun berperan sebagai pemimpin, ia tetap tidak ingin
terlihat mencolok. (kumparan.com).
Menurut saya, dengan gaya kepemimpinan yang seperti ini, tidak
heran jika pemimpin dengan gaya egaliter banyak disukai oleh bawahan dan
masyarakat. Tak hanya itu, bawahan dan masyarakat pun jadi lebih loyal terhadap
pemimpin tersebut. lantas, adakah pemimpin di Indonesia yang berjiwa egaliter? jawabannya
ada, yaitu B.J. Habibie, Gus Dur, dan Saleh Pallu.
Selain ketiga pemimpin yang saya sebutkan di atas, mungkin ada pemimpin
lain yang juga memiliki sifat egaliter. Namun, ketiga tokoh tersebut sangat
menonjol dalam melaksanakan kepemimpinannya secara egaliter, Sementara pemimpin
lainnya mungkin memiliki campuran dari berbagai sikap dan prinsip yang berbeda.
Sebetulnya, tokoh yang paling saya kagumi dalam prinsip keegaliteran
adalah tokoh sufi dan wali utama Allah yaitu, Syekh Siti Jenar. Ia dikenal
dengan pemegang prinsip “egaliter” dan mengajarkannya kepada para santri pada masa
hidupnya. Ia menganggap bahwa semua manusia memiliki derajat yang sama, baik
itu guru dan murid, raja dengan rakyatnya, orang kaya dan miskin. Kesimpulannya,
semua manusia adalah sama, setara, sepadan, selevel, imparsial, dan netral. Namun,
seperti yang saya tuliskan dalam kisah Syekh Siti Jenar, prinsip “egaliter” ini
sangat tidak diterima oleh pihak kerajaan dan pejabat pemerintahan waktu itu. Akibatnya,
Syekh Siti Jenar dianggap melakukan makar terhadap pemerintahan kerajaan pada
masa itu.
Bagaimanakah dengan masyarakat saat ini? Apakah mereka menerima
prinsip “egaliter” tersebut? Berdasarkan pengalaman dan kenyataan yang saya
pahami, prinsip “egaliter” tidak sepenuhnya di terima, terutama oleh
orang-orang yang merasa memiliki kekuasaan, jabatan, dan kewenangan yang
tinggi. Dalam kehidupan sehari-hari pun, tetap ada jurang pemisah antara oyang memimpin dan yang
dipimpin, antara guru dengan murid, antara kiai dan santri, antara orang kaya
dan orang miskin, terlebih antara presiden dan rakyatnya. Status duniawi tetap
melekat pada semua titel yang ada.
Dalam pandangan saya, seseorang yang memiliki kekuasaan, baik di
level rendah maupun tinggi, cenderung enggan disetarakan dengan orang yang tidak
memiliki kekuasaan. Bahkan, banyak orang yang memiliki kelebihan dalam harta,
tahta, dan ilmu berperilaku sombong dan arogan, seakan ingin menunjukkan, bahwa
orang lain lebih rendah derajatnya dibanding dirinya. Tidak terkecuali orang
yang paham agama maupun orang berpendidikan. Apakah hal ini wajar? Jawaban saya,
bisa iya bisa tidak.
Mengapa jawaban saya ada dua
kemungkinan, “ya” dan “tidak”, dan tidak seharusnya mutlak “tidak”? Inilah alasannya.
Memang benar dalam agama Islam, prinsip “egaliter” dicontohkan oleh para nabi
dan rasul. Namun, mengapa banyak orang yang tidak menerima prinsip ini? Salah satu
jawabannya adalah karena semua itu terkondisikan dalam lingkungan masyarakat tempat
seseorang berada, serta pengalaman hidupnya yang membuatnya sulit menerima prinsip
“egaliter”. Yang terpenting adalah karakter dan sifat sombong yang telah tumbuh
dalam jiwa seseorang, sehingga dia enggan untuk di samakan derajatnya dengan orang
lain. Perasaan sombong inilah yang menjadi cikal bakal perusak prinsip “egaliter”
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sifat sombong adalah merasa diri lebih dari orang lain, dan menganggap
orang lain tidak selevel dengannya. Jadi, bukan ilmu atau pemahaman agamanya
yang salah, melainkan hati dan jiwanya yang kotor, yang sangat bangga dengan
pencapaian hidupnya yang lebih baik dari orang lain. Tak jarang, ada aliran
agama yang mengkafirkan orang lain meskipun mereka masih dalam satu ikatan agama.
Saya sering berkelakar bahwa orang seperti itu sudah memegang kunci neraka atau
kunci surga, seakan-akan mereka dapat menyimpulkan orang lain sebagai kafir atau
sejenisnya.
Sekarang pertanyaannya khusus untuk diri saya pribadi: Apakah saya
pernah menerima atau menolak prinsip “egaliter”? Secara jujur, saya menjawab bahwa
terkadang saya menerima dan terkadang saya menolaknya. Padahal, seharusnya saya
menerima prinsip “egaliter” dengan sepenuh hati, yang sudah dicontohkan oleh baginda
Nabi Muhammad SAW. Berdasarkan hal tersebut, wajib bagi saya untuk memperbaiki
hati dan jiwa agar tidak terinfeksi oleh virus kesombongan. Semoga Allah SWT
memberikan pengampunan kepada kita semua atas segala dosa yang telah diperbuat,
khususnya dosa sombong terhadap sesama manusia. Aamiin Yaa Rabbal’alamin.
(EAS).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar