Minggu, 02 Februari 2025

EGALITER

 


https://www.tokopedia.com/tropenbookstore/masyarakat-egaliter-louise-marlow

Satu kata yang akan saya bahas dalam tulisan kali ini adalah “egaliter”. Istilah “egaliter” memang terasa asing bagi sebagian orang, tak terkecuali bagi diri saya sendiri. Kata “egaliter” berkaitan erat dengan dunia politik. Meski begitu, sebenarnya penerapan konsep “egaliter” dapat dilakukan di berbagai bidang serta dalam segala situasi dan kondisi.

Oleh sebab itu, menurut saya, sangat penting bagi seseorang untuk mengetahui definisi dan makna sesungguhnya dari kata ini. Lantas, sebenarnya, apa yang dimaksud dengan istilah “egaliter”?

Seperti biasa, saya akan membahas arti dan definisi dari kata “egaliter” berdasarkan beberapa sumber yang saya dapatkan. Yang pertama; mengutip dari laman kbbi.web.id, “Egaliter” memiliki arti bersifat sama; sederajat. Adapun sinonim yang benar sesuai dengan tesaurus bahasa Indonesia adalah sama, sederajat, dan setingkat. Kedua; “Egaliter” menurut Wikipedia adalah aliran pemikiran yang percaya bahwa semua orang memiliki nilai yang sama dan harus memiliki status yang setara. Kata “egaliter” berasal dari bahasa Prancis égal yang berarti "sama". 

Sedangkan menurut sumber lain, “egaliter” merujuk pada kondisi di mana semua individu memiliki kesempatan yang sama dan diperlakukan dengan adil, tanpa memandang latar belakang, ras, agama, jenis kelamin, atau status sosial. Konsep “egaliter” lebih luas mencakup berbagai aspek, seperti kesempatan yang sama dalam pendidikan dan pekerjaan; hak yang sama dalam hukum dan politik; serta akses yang sama terhadap sumber daya dan layanan.

 Apakah egaliter sama dengan definisi persamaan gender? Menurut sumber yang saya dapatkan, persamaan gender adalah konsep yang lebih spesifik, yang merujuk pada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti kesempatan yang sama dalam pendidikan dan pekerjaan; hak yang sama dalam hukum dan politik; akses yang sama terhadap sumber daya dan layanan; serta penghapusan diskriminasi dan stereotif gender.

Dari informasi di atas, kita dapat membedakan tentang definisi egaliter dan persamaan gender. Dengan pemahaman ini, kita tidak lagi bingung atau salah mengartikan istilah “egaliter”, sehingga dapat memahami tulisan ini dengan lebih baik.

Dalam agama Islam; konsep egaliter telah diajarkan oleh para Nabi dan Rasul. Sebagaimana kita pahami dalam sejarah, para nabi hadir membawa sistem kepercayaan alternatif yang egaliter dan membebaskan. Ajaran  yang mereka sampaikan menegaskan bahwa ketundukan dan kepatuhan hanya diberikan kepada Allah, bukan kepada manusia.  Sebab,  kebenaran berasal dari Allah, maka kekuasaan yang sejati pun berada pada genggaman-Nya, bukan ditangan raja atau pemerintah.  

Apa yang menjadi ciri bahwa seorang pemimpin itu bersikap egaliter? Ciri khas utama dari gaya kepemimpinan ini adalah sikap rendah hati dan tidak pernah menempatkan diri sebagai petinggi atau golongan elit yang sulit dijangkau oleh bawahannya. Pemimpin egaliter cenderung memposisikan dirinya sejajar dengan orang-orang yang ia pimpin atau setara dengan mayoritas masyarakat. Dengan demikian, meskipun berperan sebagai pemimpin, ia tetap tidak ingin terlihat mencolok. (kumparan.com).

Menurut saya, dengan gaya kepemimpinan yang seperti ini, tidak heran jika pemimpin dengan gaya egaliter banyak disukai oleh bawahan dan masyarakat. Tak hanya itu, bawahan dan masyarakat pun jadi lebih loyal terhadap pemimpin tersebut. lantas, adakah pemimpin di Indonesia yang berjiwa egaliter? jawabannya ada, yaitu B.J. Habibie, Gus Dur, dan Saleh Pallu.

Selain ketiga pemimpin yang saya sebutkan di atas, mungkin ada pemimpin lain yang juga memiliki sifat egaliter. Namun, ketiga tokoh tersebut sangat menonjol dalam melaksanakan kepemimpinannya secara egaliter, Sementara pemimpin lainnya mungkin memiliki campuran dari berbagai sikap dan prinsip yang berbeda.

Sebetulnya, tokoh yang paling saya kagumi dalam prinsip keegaliteran adalah tokoh sufi dan wali utama Allah yaitu, Syekh Siti Jenar. Ia dikenal dengan pemegang prinsip “egaliter” dan mengajarkannya kepada para santri pada masa hidupnya. Ia menganggap bahwa semua manusia memiliki derajat yang sama, baik itu guru dan murid, raja dengan rakyatnya, orang kaya dan miskin. Kesimpulannya, semua manusia adalah sama, setara, sepadan, selevel, imparsial, dan netral. Namun, seperti yang saya tuliskan dalam kisah Syekh Siti Jenar, prinsip “egaliter” ini sangat tidak diterima oleh pihak kerajaan dan pejabat pemerintahan waktu itu. Akibatnya, Syekh Siti Jenar dianggap melakukan makar terhadap pemerintahan kerajaan pada masa itu.

Bagaimanakah dengan masyarakat saat ini? Apakah mereka menerima prinsip “egaliter” tersebut? Berdasarkan pengalaman dan kenyataan yang saya pahami, prinsip “egaliter” tidak sepenuhnya di terima, terutama oleh orang-orang yang merasa memiliki kekuasaan, jabatan, dan kewenangan yang tinggi. Dalam kehidupan sehari-hari pun, tetap  ada jurang pemisah antara oyang memimpin dan yang dipimpin, antara guru dengan murid, antara kiai dan santri, antara orang kaya dan orang miskin, terlebih antara presiden dan rakyatnya. Status duniawi tetap melekat pada semua titel yang ada.

Dalam pandangan saya, seseorang yang memiliki kekuasaan, baik di level rendah maupun tinggi, cenderung enggan disetarakan dengan orang yang tidak memiliki kekuasaan. Bahkan, banyak orang yang memiliki kelebihan dalam harta, tahta, dan ilmu berperilaku sombong dan arogan, seakan ingin menunjukkan, bahwa orang lain lebih rendah derajatnya dibanding dirinya. Tidak terkecuali orang yang paham agama maupun orang berpendidikan. Apakah hal ini wajar? Jawaban saya, bisa iya bisa tidak.

 Mengapa jawaban saya ada dua kemungkinan, “ya” dan “tidak”, dan tidak seharusnya mutlak “tidak”? Inilah alasannya. Memang benar dalam agama Islam, prinsip “egaliter” dicontohkan oleh para nabi dan rasul. Namun, mengapa banyak orang yang tidak menerima prinsip ini? Salah satu jawabannya adalah karena semua itu terkondisikan dalam lingkungan masyarakat tempat seseorang berada, serta pengalaman hidupnya yang membuatnya sulit menerima prinsip “egaliter”. Yang terpenting adalah karakter dan sifat sombong yang telah tumbuh dalam jiwa seseorang, sehingga dia enggan untuk di samakan derajatnya dengan orang lain. Perasaan sombong inilah yang menjadi cikal bakal perusak prinsip “egaliter” dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Sifat sombong adalah merasa diri lebih dari orang lain, dan menganggap orang lain tidak selevel dengannya. Jadi, bukan ilmu atau pemahaman agamanya yang salah, melainkan hati dan jiwanya yang kotor, yang sangat bangga dengan pencapaian hidupnya yang lebih baik dari orang lain. Tak jarang, ada aliran agama yang mengkafirkan orang lain meskipun mereka masih dalam satu ikatan agama. Saya sering berkelakar bahwa orang seperti itu sudah memegang kunci neraka atau kunci surga, seakan-akan mereka dapat menyimpulkan orang lain sebagai kafir atau sejenisnya.

Sekarang pertanyaannya khusus untuk diri saya pribadi: Apakah saya pernah menerima atau menolak prinsip “egaliter”? Secara jujur, saya menjawab bahwa terkadang saya menerima dan terkadang saya menolaknya. Padahal, seharusnya saya menerima prinsip “egaliter” dengan sepenuh hati, yang sudah dicontohkan oleh baginda Nabi Muhammad SAW. Berdasarkan hal tersebut, wajib bagi saya untuk memperbaiki hati dan jiwa agar tidak terinfeksi oleh virus kesombongan. Semoga Allah SWT memberikan pengampunan kepada kita semua atas segala dosa yang telah diperbuat, khususnya dosa sombong terhadap sesama manusia. Aamiin Yaa Rabbal’alamin. (EAS).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PEOPLE PLEASER

  https://www.its.ac.id/news/2024/05/05/people-pleaser-upaya-semu-menyenangkan-semua-orang Tulisan kali ini akan membahas tentang People Ple...