Tulisan
kali ini terinspirasi oleh presentasi, Prof. H. Dr. Dedi Mulyasana, M.Pd., yang
menyoroti pentingnya penerapan Kindness Strategy dalam
mendidik anak-anak, dibandingkan metode tradisional berbasis reward
(penghargaan) dan punishment (hukuman).
Tergerak
hati saya untuk mencari tahu, Apa itu Kindness Strategy? Apa kelebihan
Kindness Strategy dibandingkan reward and punishment? Dengan
dua pertanyaan tersebut, saya membuka beberapa tulisan yang membahas kajian
tersebut.
Kita
amati satu persatu definisinya. Yang pertama definisi tentang kindness. Menurut
sumber yang saya dapatkan kata kindness dalam bahasa Inggris berarti
kebaikan dalam bahasa Indonesia. Kebaikan merupakan nilai moral yang positif
dalam banyak budaya dan masyarakat di seluruh dunia. Beberapa contoh tindakan
yang menunjukkan kebaikan adalah:
1.
Membantu orang
lain tanpa mengharapkan imbalan
2.
Berbicara dengan
kata-kata yang baik
3.
Menunjukkan pengertian
dan toleransi terhadap orang lain
4.
Menunjukkan penghargaan
dan rasa terima kasih
5.
Melakukan hal
yang benar
6.
Mendahulukan orang
lain daripada diri sendiri
7.
Merawat seseorang
yang membutuhkan
8.
Memperlakukan orang
lain sebagaimana Anda ingin diperlakuakn.
Dalam
kamus Psikologi (Pam, 2013) Kindness sebagai tindakan yang baik dan
bermanfaat yang secara sengaja ditujukan kepada orang lain, yang dimotivasi
oleh keinginan untuk membantu orang lain dan bukan untuk mendapatkan imbalan
secara eksplisit atau untuk menghindari hukuman secara eksplisit.
Sinonim
dari kindness menurut Kamus Merriam adalah altruisme. Kindness
dan altruisme adalah konsep terkait yang melibatkan perbuatan baik
kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun. Jadi, menurut saya, yang menjadi
tolok ukur dari kindness ini adalah perbuatan baik dan tulus yang
dilandasi oleh perilaku kasih sayang.
Sedangkan
Kindness Strategy menurut Prof. H. Dr. Dedi Mulyasana, M.Pd., adalah
pendekatan yang berfokus pada pengasuhan berbasis kasih sayang, empati, dan
pemahaman. Dalam pendekatan ini, anak dibimbing untuk memahami nilai moral dari
tindakannya bukan hanya sekadar mengejar hasil.
Misalnya,
guru atau orang tua dapat mengajak anak berdialog tentang pentingnya datang
tepat waktu ke sekolah untuk menunjukkan rasa hormat terhadap orang lain, bukan
sekadar takut dihukum atau ingin hadiah.
Menurut
Prof. Dedi, pendekatan ini membantu anak memahami alasan mendasar di balik
aturan atau norma sosial yang mereka jalani, sehingga tumbuh kesadaran
intrinsik untuk berperilaku baik. Mengapa guru perlu mempertimbangkan untuk
beralih menggunakan Kindness Strategy? Karena melalui kindness
stategy siswa akan melakukan tindakan sesuai kesadaran diri yang akhirnya
membentuk sebuah karakter.
Ada sumber
lain yang berkaitan dengan definisi Kindness Strategy, yaitu menurut
Sujaya, S.Pd.Gr. Menurut Sujaya, Kindness Strategy adalah pendekatan
yang menekankan pentingnya kebaikan, empati dan hubungan yang positif antara guru,
siswa, dan komunitas sekolah. Strategi ini bertujuan untuk menciptakan
lingkungan belajar yang mendukung perkembangan emosional, sosial, dan akademik
siswa.
Berikut adalah
beberapa komponen utama dari kindness strategy:
1.
Membentuk budaya
positif di sekolah
2.
Mengajarkan empati
dan kesadaran emosional
3.
Membangun hubungan
positif
4.
Mengintegrasikan
kebaikan dalam kurikulum
5.
Memberikan dukungan
sosial dan emosional
6.
Mendorong tindakan
kebaikan yang sederhana
7.
Kolaborasi dengan
orang tua dan komunitas
Menurut
pendapat saya, Kindness strategy ini sangat baik apabila dapat
dipraktikkan secara nyata di lingkungan satuan pendidikan. Yang saya tahu,
selama ini guru-guru, khususnya saya sendiri, melaksanakan pendekatan secara reward
and punishment. Untuk mendisiplinkan para siswa, kami menerapkan aturan
yang berbasis pada hadiah (penghargaan) dan hukuman (sanksi). Siswa yang
berhasil menjalanakn aturan dengan baik diberi penghargaan, sedangkan siswa
yang melanggar aturan diberi hukuman. Penghargaan dan hukuman tersebut saya
anggap sebagai suatu konsekuensi yang harus diterima dalam menjalankan semua
tugas-tugas dan kewajibannya sebagai siswa di sekolah.
Sebelum
kita melanjutkan pembahasan lainnya, mari kita lihat terlebih dahulu manfaat dari
Kindness strategy. Pendekatan ini memiliki manfaat, di antarnya: meningkatkan
kebahagiaan dan kesejahteraan emosional siswa, membantu menciptakan lingkungan
belajar aman dan mendukung, mengurangi konflik, dan meningkatkan kerja sama di
antara siswa.
Prinsip
dasar Kindness Strategy berfokus pada pengembangan nilai-nilai
internal, seperti empati, kebaikan, dan hubungan positif. Tujuannya adalah
membangun kesadaran dan tanggung jawab intrinsik siswa untuk berbuat baik tanpa
paksaan eksternal. Dengan pendekatan ini, dimungkinkan siswa akan memiliki karakater
posistif dalam kurun waktu yang panjang.
Sedangkan
pendekatan Reward and Punishment menggunakan penguatan
penghargaan atau hukuman untuk memotivasi perilaku tertentu. Tujuannya adalah
mengontrol perilaku siswa melalui konsekuensi langsung. Melalui pendekatan ini,
siswa akan memiliki karakter yang positif dalam kurun waktu yang pendek.
Prof.
H. Dr. Dedi Mulyasana, M.Pd., menjelaskan pengaruh negatif dari pendekatan reward
and punishment yaitu siswa beresiko terjangkit penyakit Mitomania. Mitomania
adalah gangguan mental yang menyebabkan seseorang berbohong secara terus
menerus dan tidak terkendali. Mitomania juga dikenal sebagai gangguang kebohongan
patologis dan bersifat kronis.
Ciri-ciri
mitomania adalah: berbohong tanpa ada alasan yang jelas, berbohong secara
berlebihan, berbohong tanpa keuntungan nyata, berbohong untuk menarik
perhatian, berbohong untuk merasa lebih baik, berbohong yang dramatis dan
kompleks, serta mempercayai kebohongan yang dibuatnya sendiri. Efek dari
mitomania ini dapat menyebabkan seseorang mengalami kesulitan dalam menjaga
hubungan sosial dan kehilangan kepercayaan dari orang lain.
Melihat
dampak negatif dari pendekatan reward and punishment ini ternyata sangat
membahayakan. Sehingga saya berfikir kembali, apakah benar semua anak atau
orang yang dididik dengan pendekatan reward and punishment akan memiliki
penyakit mitomania? Namun, saya yang dilahirkan dan dibesarkan dengan
pendekatan ini, sekarang baik-baik saja dan memiliki karakter yang positif. Atau
mungkin penyakit tersebut tidak menyerang pada setiap orang, hanya orang-orang
tertentu saja? Lantas orang yang bagaimana yang dapat terkena atau tidaknya?
Dalam
penjelasan Prof. H. Dr. Dedi Mulyasana,
M.Pd. tidak ada orang yang spesifik yang dapat terkena atau tidaknya penyakit
mitomania tersebut. Fokus yang diutarakan bahwa Guru harus beralih pada
pendekatan Kindness strategy untuk mendidik para siswanya. Disamping
itu, pendekatan reward and punishment akan melahirkan “karakter palsu”
dalam diri siswa.
Coba
kita lihat dalam konteks kehidupan sehari-hari; di dunia Pendidikan, dunia
kerja, serta dalam pemahaman agama. Pendekatan reward and punishment yang selalu diutamakan. Misalnya, siswa yang disiplin, rajin belajar, ia akan tumbuh
menjadi anak yang berkarakter positif serta menjadi pintar. Oleh karena itu,
mereka diberikan penghargaan oleh sekolah ataupun lembaga pendidikan lainnya. Sebaliknya,
anak yang malas belajar, tidak diberi penghargaan atas kemalasannya, bahkan
sering menerima cemoohan dari orang lain.
Guru
yang baik dan disiplin dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) akan
diberikan penghargaan oleh kepala sekolah seperti pemberian jabatan. Seorang pegawai
yang rajin dan disiplin pasti akan diberi penghargaan berupa promosi jabatan, sementara
yang melanggar tupoksinya akan dikenai sanksi. Bahkan, dalam agama, orang yang
melakukan keburukan akan diberikan hukuman berupa neraka, sedangkan yang
melakukan kebaikan akan diberikan surga.
Saya
sendiri adalah orang yang dihasilkan dari didikan reward and punishment
oleh orang tua maupun guru-guru di masa lalu. Saya selalu ingat nasihat kedua orang
tua dalam melakukan segala sesuatu, yaitu: “Ala bisa karena biasa, biasa
karena terpaksa”. Mungkin dari keterpaksaan inilah yang memungkinkan ada
celah penyakit mitomania muncul dalam diri seseorang. Karena perasaan terpaksa tersebut,
ketakutan muncul dalam hati, dan ketika melanggar suatu aturan, maka seseorang merasa
perlu berbohong untuk mengamankan diri dari hukuman.
Memang
benar, dengan adanya motivasi dari luar seperti unsur paksaan sebagai akibat
pendekatan reward and punishment, seseorang cenderung tidak melakukan secara ikhlas
atau lillah. Segala sesuatunya diukur dari apa yang akan didapatkan apabila
mengerjakannya, dan apa hukuman yang akan diterima bila tidak melakukannya. Hal
ini menciptakan apa yang dinamakan karakter palsu. Karakter positif muncul
ketika ada faktor eksternal atau orang yang dianggap berkuasa, Namun, ketika
jauh dari faktor eksternal tersebut, karakter seseorang dapat berubah dan yang tampak
adalah karakter asli mereka.
Untuk
itu, diperlukan pengkajian dan pendalaman materi untuk melaksanakan pendekatan Kindness
Strategy ini. agar tidak terjadi kesalahan baik dalam konsep maupun praktik
pelaksanaannya di lapangan. Dibutuhkan guru yang benar-benar mempunyai rasa
kasih sayang yang tulus dan ikhlas dalam mendisiplinkan serta mendidik siswa, tanpa
mengharapkan balasan apapun kecuali balasan dari Allah SWT. (EAS).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar