https://www.facebook.com/IKMnews/photos/a.1054410267915680/2528753697147989/
Kali
ini, saya akan menuliskan kisah pertemuan antara Alexander The Great atau
Alexander Agung dengan Diogenes. Alexander Agung adalah seorang raja, sementara
Diogenes adalah orang dari kalangan rakyat biasa. Agar lebih mengenal siapa itu
Alexander Agung dan Diogenes ada baiknya saya menceritakan terlebih dahulu asal-usul
keduanya.
Menurut
sumber yang saya dapatkan, Alexander Agung atau Aleksander III dari Macedonia
yang hidup antara 21 Juli 356 SM-10-11 Juni 323 SM. Ia adalah putra Raja Philip
II dari Macedonia. Alexander naik takhta sebagai raja pada 336 SM dan kemudian menaklukkan
sebagian besar wilayah dunia yang dikenal pada masanya. Gelaran “Agung” setelah
namanya menyatakan pengakuan baik atas kejeniusan militer maupun kecakapan
diplomatis. Selain itu, Alexander memiliki reputasi sebagai penyebar budaya, bahasa,
serta pemikir (filosofis) Yunani di sepanjang wilayah Asia Kecil, Mesir,
Mesopotamia hingga India. Ia juga dianggap sebagai penggerak awal dimulainya
era yang disebut sejarah dengan “Dunia Helenis” (Hellenistic World).”
Pada
usia 14 tahun, Alexander diperkenalkan kepada filsuf Yunani, Aristoteles, yang
disewa oleh ayahnya sebagai tutor pribadi. Calon penakluk dunia ini belajar di
bawah bimbingan Aristoteles selama tiga tahun, dan keduanya tetap menjalin
korespondensi meskipun Alexander kemudian disibukkan dengan kampanye militernya.
Banyak
sumber yang menyebutkan bahwa Alexander Agung tidak pernah kalah dalam upayanya
memperluas wilayah kekuasaanya. Hal ini disebabkan oleh kejeniusannya dalam
mengatur strategi peperangan, kepiawaiannya dalam diplomasi, serta pemahamannya
yang mendalam tentang filsafat. Jika megacu pada pernyataan dari Plato (guru
dari Aristoteles), seorang pemimpin ideal adalah mereka yang memiliki ilmu filsafat
yang mumpuni atau seorang filsuf. Pernyataan ini sangat sesuai dengan kenyataan
yang terjadi pada Alexander Agung. Terbukti, dengan kebijaksanaan yang dimilikinya,
Alexander Agung selalu dihormati dan disegani oleh seluruh masyarakat di
wilayah taklukannya. Ia bahkan mampu memperluas kekuasaannya mencakup sepertiga
dunia pada masanya.
Sekarang,
saya akan mengulas tentang asal usul Diogenes. Berdasarkan sumber yang saya peroleh,
Diogenes dari Sinope hidup sekitar 412-323
SM. Ia merupakan seorang filsuf mazhab Sinisme dalam tradisi filsafat Yunani. Diogenes dikenal
karena kebiasaannya berjalan sambil membawa lentera di hadapan warga Athena,
seraya menyatakan bahwa ia sedang mencari orang yang benar-benar jujur. Diogenes
berpendapat bahwa kebajikan tertinggi tercapai ketika manusia memiliki rasa
puas terhadap dirinya sendiri serta mampu mengabaikan segala bentuk kesenangan
duniawi.
Diogenes
dari Sinope adalah figur yang paling terkenal dari Mazhab Sinisme, bahkan melebihi
Antisthenes yang merupakan pendiri mazhab tersebut. Ia lebih dikenal justru karena perilaku-perilakunya ketimbang
pemikiran filsafatnya. Dengan demikian, ia telah mengembangkan suatu metode pendidikan
baru yang disebut epigram moral (chreia), yaitu pengajaran melalui
kisah-kisah dengan kehidupan nyata.
Konon,
kemasyhuran nama Diogenes yang membuat Raja Alexander Agung penasaran, sehingga
ia menyempatkan diri untuk mengunjungi Diogenes sebelum berangkat memperluas wilayah
taklukannya. Saat itu, Diogenes sedang berada dalam tong, ditemani seekor
anjing yang setia. Dari pertemuan ini, terjadilah dialog yang sangat terkenal dalam
sejarah dan filsafat hingga hari ini. Berikut adalah percakapan umum yang terjadi
antara Alexander Agung dan Diogenes.
Alexander:
“Aku adalah Alexander, raja Macedonia dan penguasa dunia. Aku datang untuk
melihatmu, Diogenes.”
Diogenes:
“Dan aku adalah Diogenes, anjing yang hidup di dalam tong, Aku tidak
membutuhkanmu, Alexander.”
Alexander:
“Aku ingin tahu, apa yang kamu inginkan dari aku?”
Diogenes:
“Aku ingin kamu menjauhkan bayanganmu dari matahari. Kamu sedang menghalangi cahaya
matahari yang menghangatkan tubuhku.”
Alexander:
“Aku tidak pernah menemui orang seperti kamu sebelumnya. Kamu tidak takut
padaku, tidak menghormatiku, dan tidak meminta apa-apa dariku?”
Diogenes:
“Aku tidak membutuhkan apa-apa darimu, Alexander. Aku sudah memiliki apa yang
aku butuhkan. Aku hidup sederhana dan bahagia dengan apa yang aku miliki.”
Alexander:
“Aku sangat menghormatimu, Diogenes. Kamu adalah orang yang benar-benar bebas.”
Diogenes:
”Lalu, kemanakah kamu akan pergi, Alexander?”
Alexander:
“Aku akan berangkat untuk memperluas wilayahku. Aku ingin menakklukan seluruh
dunia menjadi daerah kekuasaanku.”
Diogenes:
“Untuk apa kamu lakukan penyerangan-penyerangan itu? Dan ketika dunia sudah
kamu taklukkan lantas kamu mau apa?”
Alexander:
“Jika aku sudah menaklukkan seluruh dunia menjadi daerah kekuasaanku, aku akan
senang dan bahagia serta dapat beristirahat dengan tenang.”
Diogenes:
“Dunia itu sangat luas Alexander, tak mungkin kamu bisa menguasai seluruhnya. Bahkan
nyawamu tidak cukup panjang untuk menaklukannya. Lagipula untuk menjadi senang
dan bahagia tidak harus menaklukan dunia dulu, contohnya aku hanya diam di tong
sampah sambil berjemur, aku sudah senang dan bahagia.”
Alexander:
“Ketahuilah Diogenes, seandainya aku bukan Raja Alexander Agung, aku ingin menjadi
Diogenes.”
Diogenes: “Seandainya aku bukan Diogenes, aku juga ingin tetap menjadi Diogenes.”
Diceritakan
dalam percakapan antara Alexander Agung dan Diogenes tersebut, tidak ada
pergerakan apa pun yang dilakukan oleh Diogenes. Bahkan ketika berbicara pun, Diogenes
tidak memandang ke arah Alexander. Ia malah berbicara kepada anjingnya yang
berada di sampingnya. Semua ucapan Diogenes sangat sinis dan apa adanya. Tidak ada
kalimat penghormatan atau gestur tubuh yang menunjukkan rasa takut pada
Alexander. Namun, Alexander, yang awalnya merasa jengkel dengan tingkah laku
Diogenes, akhirnya menyadari siapa orang yang sedang dihadapinya. Hal ini
disebabkan pula karena Alexander mengetahui
dengan jelas bahwa Diogenes adalah seorang pengikut ajaran Socrates.
Dalam
catatan saya, ada banyak hikmah dari sosok Diogenes, meskipun ia tidak
meninggalkan karya berbentuk buku atau sejenisnya. Namun ia, memberikan contoh-contoh
perilaku yang konsisten dan dibuktikan
sendiri dalam kehidupan sehari-harinya. Saya akan menuliskan beberapa pernyataan
yang berasal dari Diogenes, yang hingga saat ini masih sering saya dengar dan relevan
bagi kehidupan sehari-hari. Saya tidak mengetahui jika pernyataan ini di
ucapkan pertama kalinya oleh Diogenes. Tetapi yang pasti, pernyataan-pernyataan
ini tetap mengandung makna yang mendalam.
1.
Manusia adalah
manusia paling cerdas dan paling tolol.
2.
Kita punya dua
telinga dan satu mulut sehingga kita bisa mendengar lebih banyak dan bicara
lebih sedikit.
3.
Tidak ada orang
yang dapat tersakiti, kecuali oleh dirinya sendiri.
4.
Kalau kamu
ingin selalu dalam kebenaran, milikilah sahabat yang baik atau musuh bebuyutan.
Sahabat yang baik akan memperingatkanmu, dan musuh bebuyutan akan membongkar
dirimu.
5.
Filosof dan
Anjing: melakukan yang terbaik dan mendapat balasan paling sedikit.
6. Bukannya aku gila, hanya saja isi kepalaku berbeda dengan isi kepalamu.
Saya
akan menuliskan juga satu Quote dari Diogenes yang sedikit nyeleneh namun benar
adanya, yaitu: “In a rich man’s house, there is no place to spit but his face.”
Sekarang
kita lihat satu Quote sekaligus amanat dari raja Alexander Agung: “Kuburkan
aku dan jangan buat monumen apapun. Biarkan tanganku tampak menjulur keluar
sehingga orang-orang tahu, ia yang menakklukkan dunia tidak membawa apapun saat
mati.”
MasyaAllah,
sungguh luar biasa pesan moral yang saya dapatkan dari kedua tokoh ini. Dimana yang
satu Raja Alexander Agung penakluk sepertiga dunia dan yang satu rakyat biasa, keduanya
memberikan pencerahan bagi manusia di muka bumi. Meskipun keduanya berasal dari
latar belakang yang berbeda, memiliki kesamaan dalam hal prinsip hidup dan
keyakinan yang teguh. Ini adalah salah satu hikmah besar yang bisa kita ambil
dari kisah hidup mereka; bahwa kebijaksanaan dan keteguhan hati tidak
bergantung pada status atau kedudukan, melainkan pada pemahaman dan penerapan
nilai-nilai hidup yang luhur.(EAS).