Senin, 24 Februari 2025

PUASA

 

https://www.detik.com/jogja/berita/d-7793249/45-poster-menyambut-bulan-ramadhan-2025-terbaru-gratis-lucu-dan-keren

Pada tulisan kali ini, saya akan menjelaskan tentang makna puasa. Hal ini, didasari oleh kenyataan bahwa beberapa hari ke depan, kita akan menyambut Bulan Suci Ramadhan 1446 H. Kita patut  bersyukur kepada Allah SWT, karena masih diberikan kesempatan kembali bertemu dengan bulan yang penuh rahmat dan ampunan ini. Semoga kita semua dapat mempersiapkan diri dengan baik untuk meraih keberkahan di dalamnya.

Sebelumnya, kita akan mengingat kembali definisi puasa Ramadhan menurut Syari’at Islam. Puasa Ramadhan adalah ibadah wajib dalam Islam yang dijalankan dengan menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal yang membatalkan puasa. Puasa Ramadhan dilakukan selama satu bulan penuh, dari terbit fajar hingga terbenam matahari.

Puasa Ramadhan adalah suatu puasa yang diwajibkan Allah SWT pada seluruh umat muslim di muka bumi. Seperti yang terkandung dalam Quran Surat Al-Baqoroh tentang perintah puasa, yang artinya adalah: “ Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Tafsir ayat di atas adalah: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa guna mendidik jiwa, mengendalikan syahwat, dan menyadarkan bahwa manusia memiliki kelebihan dibandingkan hewan, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu dari umat para nabi terdahulu agar kamu bertakwa dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah.” (Tafsir Wajiz).

            Mengapa kita harus menjalankan ibadah puasa ini? Apakah ada manfaatnya bagi kehidupan sehari-hari? Dua pertanyaan ini yang akan saya jawab. Dari sudut pandang Agama Islam sudah sangat jelas kewajiban kita untuk melaksanakan puasa Ramadhan yang disertai keutamaan di dalamnya. Selain itu, ada makna yang lain yang terkandung dalam hakikat puasa khususnya puasa Ramadhan.

Menurut beberapa sumber yang saya dapatkan, ada beberapa nilai yang akan kita dapatkan ketika menjalankan ibadah puasa, yaitu:

1.     Nilai Normatif

Adalah nilai yang menjadi norma, aturan, maupun kewajiban yang harus di laksanakan oleh seluruh umat Islam.

2.     Nilai Purifikatif

Adalah nilai pembersihan diri dari kotoran, dosa, kesalahan,  hasrat, hawa nafsu, yang berada dalam diri seorang muslim.

3.     Nilai Preventif

Adalah nilai pencegahan, mengendalikan diri dari perbuatan-perbuatan yang merusak keimanan dan ketaqwaan seorang muslim.

4.     Nilai Preservatif

Adalah nilai untuk memelihara kita, agar sehat jasmani, rohani, mental, dan spiritual. “Shumu tashihhu.” (Berpuasalah, niscaya kamu sehat).

Sedangkan secara intelektual menjalankan ibadah puasa memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita, yaitu: kepatuhan, pelatihan, pengorbanan, penyucian, perjuangan, keikhlasan, dan i’tibar dari kelemahan diri. Dimana semua pelajaran ini sudah terangkum dalam empat nilai puasa di atas. Pelajaran tersebut didapatkan karena ibadah puasa langsung di nilai Allah SWT tanpa sepengetahuan orang lain.

Untuk memberikan motivasi khususnya bagi diri saya sendiri dan umumnya kepada semua pembaca agar lebih semangat dalam menjalankan ibadah puasa. Supaya kita tidak sekadar menggugurkan kewajiban berpuasa secara formalitas atau rutinitas. Maka saya akan menguraikan beberapa pandangan dari para tokoh besar, baik itu yang beragama Islam maupun Non-Islam. Karena umat selain agama Islam pun mengenal dan sering menjalankan ritual ibadah puasa.

1.     Plato: “Aku berpuasa agar fisik dan mentalku sehat.”

2.     Augustinus: “Puasa membersihkan jiwa, meningkatkan pikiran, menspiritualkan yang fisik, menumbuhkan rasa sesal, dan kerendahan hati, menyingkirkan hambatan nafsu, memadamkan ketamakan, dan menyalakan cahaya sejati kesucian.”

3.     Dante Alighieri: “Puasa memiliki kekuatan yang lebih dahsyat dibandingkan kesedihan.”

4.     Paracelcus: “Puasa adalah pengobatan terbaik, dokter dalam diri.”

5.     Benjamin Franklin: “ Obat terbaik adalah istirahat dan puasa.”

6.     Fyodor Dostoyevsky: “Ketaatan, puasa, dan doa sering ditertawakan, padahal hanya melalui hal tersebut terdapat jalan untuk kebebasan sejati. Aku memotong keinginan tak terkendali dan tidak penting. Aku tundukkan kesombongan dan ketamakanku dan kuhukum ia dengan kepatuhan dengan pertolongan Tuhan, aku mencapai kemerdekaan jiwa dan kenikmatan spiritual.”

7.     Herman Hesse: “Setiap orang dapat melakukan keajaiban, setiap orang dapat mencapai tujuannya, kalau ia mampu berpikir, kalau ia mampu menunggu, dan kalau ia mampu berpuasa.”

8.     Mahatma Gandhi: “Agamaku mengajarkan kepadaku, bahwa kapanpun muncul tekanan yang tak dapat disingkirkan sendiri, seseorang harus berpuasa dan berdoa.”

9.     Syekh Waliyullah Al-Dihlawi: “Puasa ibarat Tiryaq, Penawar bagi racun-racun setan (semacam “detoksifikasi spiritual”). Dengan puasa Anda memukul naluri kebinatangan (al-bahimiyyah) yang mungkin selama ini menguasai diri Anda.”

10.  Syekh Abdul Wahab Al-Sya’rani: “Puasa membawa kepada pencerahan batin (ghayat an-nuraniyyah) dan peneguhan rohani; serta berbagai kebajikan yang berlimpah tatkala mereka berpuasa.”

11.  Tariq Ramadhan: “Filosofi puasa mengundang kita untuk mengenali diri kita sendiri, menguasai diri kita sendiri, dan mendisiplinkan diri kita sendiri menjadi lebih baik, juga untuk membebaskan diri kita sendiri. Berpuasa berarti mengenali ketergantungan kita dan membebaskan diri kita darinya.”

12.  Suhrawardi Al-Maqtul: “Puasa adalah upaya untuk melepaskan diri dari penjara raga yang material, jalan penjernihan jiwa sehingga mampu memantulkan Cahaya Tuhan (pengetahuan).”

13.  Ibnu Arabi: ”Puasa adalah pencegahan dan peninggian, tiada tindakan yang dilakukan, penafiran keserupaan, dan sifat As-Shamadiyah, yang tebusannya adalah Allah SWT.”

14.  Maulana Jalaluddin Rumi: “Meski ragamu akan memucat sebab puasa, namun jiwamu akan melembut bagai sutra, pintu-pintu langit akan terbuka, Yusuf menjadi pemimpin Mesir yang dicintai, sebab ia bersabar dalam sumur gelap tak terperi.” (Rumi, Divan-e shams, puisi 2344).”

15.  Syekh Siti Jenar: “Puasa secara lahir disubstitusikan dengan kemampuan untuk melaparkan diri. Bukan sekadar mengatur ulang pola makan di bulan Ramadhan, tetapi mampu ngelakoni weteng kudu luwe, membiasakan diri lapar, bukan membiarkan kelaparan. Sehingga terciptalah sistem masyarakat yang terkendali hawa nafsunya.”

Itulah beberapa pandangan tentang keutamaan dalam menjalankan ibadah puasa. Sebenarnya masih banyak lagi pandangan-pandangan dari Tokoh Besar lainnya. Namun, saya hanya menguraikan lima berlas (15) saja, agar para pembaca tidak terlalu banyak dalam mencerna maknanya. Di sini, saya tidak menguraikan tentang kewajiban puasa berdasarkan ilmu fiqihnya, keutamaan puasa di bulan Ramadhan, ataupun tingkatan puasa, karena semua itu berada dalam kapasitas yang berbeda.

Sebagai akhir dari tulisan saya, semoga kita dapat menjalankan ibadah puasa dengan sebaik-baiknya serta sesuai syari’at yang berlaku dalam agama Islam. Dengan demikian, kita dapat menjadikan bulan Ramadhan ini sebagai waktu untuk muhasabah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal’alaamiin. Marhaban Yaa Ramadhan. (EAS).

Kamis, 20 Februari 2025

ISRA MIKRAJ

 


https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-7751541/50-ucapan-isra-miraj-2025-1446-hijriah-bahasa-indonesia-inggris

Pada tulisan kali ini, saya akan membahas tentang Isra Mikraj. Lebih tepatnya mengkaji makna yang terkandung dari peristiwa Isra Mikraj. Seperti biasa, kita harus mengetahui definisi dari Isra Mikraj terlebih dahulu.  

Definisi Isra Mikraj menurut sumber Wikipedia adalah: Isra Mikraj (bahasa Arabالإسراء والمعراج, translit. al-’Isrā’ wal-Mi‘rāj) adalah dua bagian perjalanan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dalam waktu satu malam saja. Kejadian ini merupakan salah satu peristiwa sangat penting bagi umat Islam, karena pada peristiwa inilah Nabi Muhammad mendapat perintah untuk menunaikan salat lima waktu sehari semalam.

Menurut tulisan Ihsan Faisal, Isra Mikraj terjadi pada periode akhir kenabian di Makkah, sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Menurut al-Maududi dan mayoritas ulama, Isra Mikraj terjadi pada tahun pertama sebelum hijrah, yaitu antara tahun 620-621 M. Menurut al-Allamah al-Manshurfuri, Isra Mikraj terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-10 kenabian, dan inilah yang populer.

Saya akan menguraikan makna-makna yang terkandung di dalam peristiwa Isra Mikraj, berdasarkan beberapa sumber yang ditemukan. Dalam mengkaji makna peristiwa Isra Mikraj ada empat kitab sebagai dasar atau patokannya yaitu: 1) Kitab Al-Dardir Baynama Qissat Al-Mi’raj dengan penulis Syekh Najmudin Al-Ghaiti; 2) Kitab Risalah Latifah fi Bayan Al-Isra wa’ al-Mi’raj dengan penulis Syekh Abdussamad Al-Falimbani; 3) Kitab Kifayah Al-Muhtaj fi Bayan al-Isra’ wa al Mi’raj dengan penulis Syekh Daud Al-Patani; 4) Kitab Al-Isra Ila al Maqam Al-Asra dengan penulis Syekh al Akbar Ibnu Arabi. Silakan para pembaca mencari dan memahami kitab-kitab itu, bagi para santri yang berasal dari pondok pesantren akan mengenal semua isi dari kitab-kitab tersebut.

Saya mengutip salah satu ayat dari Al-Quran tentang peristiwa Isra Mikraj, yaitu Surat Al-Isra ayat pertama. Artinya: “Mahasuci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Peristiwa Isra Mikraj merupakan salah satu mukjizat Nabi Muhammad SAW. Mukjizat adalah sebuah peristiwa luar biasa yang di alami oleh para Nabi dan Rasul. Mukjizat merupakan peristiwa yang berada di luar logika (di luar jangkauan akal) manusia karena Allah yang memberikannya. Secara logika, tidak mungkin Nabi Muhammad melakukan perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa kemudian naik ke langit ke-7 dalam waktu semalam. Namun, tidak usah heran, karena yang namanya mukjizat hanya dapat terjadi karena Allah menunjukkan peran-Nya.  

Berdasarkan ilmu pengetahuan dan sumber yang didapatkan, saya akan menguraikan makna dari peristiwa Isra Mikraj yang wajib diketahui khususnya oleh para pemuda, selain perintah salat lima waktu. Makna dari peritiwa isra Mikraj adalah:

1.     Keterbatasan manusia dan kekuasaan Allah SWT

2.     Amanah manusia dan kehambaan

3.     Bekal perjalanan menuju Allah SWT

4.     Kesadaran mistik dan kesadaran profetik

5.     Menjalani hidup secara visioner dan aspiratif

Mari kita pahami secara mendetail makna-makna di atas. Pertama makna yaitu keterbatasan manusia dan kekuasaan Allah SWT. Isra Mikraj dapat menyadarkan kita sebagai manusia adalah makhluk lemah dan memiliki banyak keterbatasan, baik itu keterbatasan secara fisik maupun psikis. Sebagai manusia biasa Nabi Muhammad tidak mungkin melakukan Isra Mikraj dalam satu malam, namun Allah yang memperjalankannya (sesuai dengan QS. Al-Isra ayat 1) sehingga hal itu menjadi sangat mungkin terjadi. Orang bijak berkata “Orang yang mengenali batasan dirinya sendiri adalah orang yang akan bahagia dalam kehidupannya.”

Makna yang kedua yaitu amanah manusia dan kehambaan. Dalam peristiwa Isra Mikraj ada simbol yang harus dibaca dengan logika atau akal. Maka muncul pertanyaan, mengapa Nabi Muhammad tidak langsung dinaikkan ke langit ketujuh, namun harus singgah dulu ke Masjid Aqsa? Jawabannya karena tugas manusia adalah menunaikan kemanusiaan dan kehambaan. Sebelum naik ke langit ketujuh, Nabi Muhammad di perjalankan secara horizontal dari masjid Haram ke masjid Aqsa sebagai tanda bahwa manusia wajib menuntaskan urusan kemanusiaan di dunia, dan setelahnya Nabi Muhammad diperjalankan secara vertikal menuju Allah SWT untuk menjalankan kewajibannya sebagai seorang hamba. Kesimpulannya, setiap manusia harus membereskan terlebih dahulu urusan dunianya sebelum membereskan urusan akhiratnya. Jangan terbalik membereskan urusan akhirat demi mencapai kesuksesan urusan dunia.

Makna yang ketiga adalah bekal perjalanan menuju Allah SWT. Kita harus berpegang teguh pada kalimat “Innalillahi Wainna Ilaihi Roji’un,” yang artinya dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Bagaimanakah perjalanan kembali menuju Allah? Kita bahas dengan peristiwa Isra Mikraj.

Di langit pertama Nabi Muhammad bertemu dengan Nabi Adam. Mengapa Nabi Adam? Nabi Adam adalah nabi pertama yang langsung mendapat pengajaran tentang isi dunia dari Allah SWT. Hal ini memiliki simbol bahwa manusia harus mengetahui: Kita ini siapa? Berasal dari mana dan hendak ke mana? Atau dengan kata lain, sebagai manusia, kita harus mempunyai visi dan tujuan dalam menjalankan hidup ini.

Di langit kedua, Nabi Muhammad bertemu dengan Nabi Yahya dan Nabi Isa. Mengapa harus Nabi Yahya dan Nabi Isa? Seperti yang kita pahami bahwa mereka adalah nabi yang meninggal di usia muda. Kedua nabi ini memiliki semangat dan ambisi yang kuat dalam menjalankan semua perintah dari Allah SWT. Selain itu, mereka sanggup mengorbankan jiwa raga termasuk nyawanya demi kepatuhan memegang ajaran yang diberikan oleh Allah SWT. Pada langit ketiga, Nabi Muhammad bertemu dengan Nabi Yusuf. Dari silsilah Nabi Yusuf, kita mengetahui bahwa ia adalah orang yang suka bekerja keras, pantang menyerah, dan tidak putus asa. Sehingga apapun ujian yang diberikan Allah SWT padanya, ia terima dengan ikhlas.

Pada langit keempat, Nabi Muhammad bertemu dengan Nabi Idris. Nabi Idris adalah Nabi yang paling cerdas dan pintar. Sejumlah sumber mengatakan bahwa Nabi Idris adalah filsuf pertama yang ada di dunia. Nabi Idris menyimbolkan kecerdasan dalam mendayagunakan akal dan budi. Di langit kelima, Nabi Muhammad bertemu dengan Nabi Harun. Nabi Harun adalah nabi yang menemani Nabi Musa dalam menjalankan misi dakwah pada umatnya. Nabi Harun adalah orang yang pandai beretorika, berkomunikasi, serta berbagi kepada seluruh umatnya.

Pada langit keenam, Nabi Muhammad bertemu dengan Nabi Musa. Nabi Musa adalah nabi yang paling berani, tangguh, dan sangat peduli terhadap kaum lemah yang tertindas. Nabi Musa yang memprovokasi kepada Nabi Muhammad, untuk menawar jumlah salat yang awalnya 50 waktu menjadi 5 waktu dalam sehari semalam. Dan yang terakhir adalah di langit ketujuh, Nabi Muhammad bertemu dengan Nabi Ibrahim. Ia menyimbolkan sifat tawakal, istiqomah, dan pasrah dengan segala keputusan yang diberikan Allah SWT. Hal ini, tergambarkan dengan keikhlasan untuk menyembelih putranya (Nabi Ismail) karena perintah Allah SWT. Itulah ringkasan dari makna isra Mikraj ketiga.

Makna yang keempat adalah kesadaran mistik dan kesadaran profetik. Rasulullah naik ke langit ketujuh sampai pada posisi berhadapan langsung dengan Allah SWT. Inilah puncak dari segala kenikmatan dan kebahagiaan manusia, yaitu bertemu langsung dengan Allah SWT. Namun, Nabi Muhammad tidak terlena dalam kebahagiaan dan kebersamaan dengan Allah, Ia rela turun kembali ke dunia demi kecintaan pada umatnya. Berbeda dengan para sufi, setelah berhasil bertemu dengan Allah SWT, mereka menikmati kebersamaan dan kebahagiaannya seorang diri, dan enggan untuk bergabung kembali dengan manusia lainnya di bumi. Itulah perbedaan mistik profetik antara Nabi dan Sufi.

Makna yang kelima adalah menjalani hidup secara visioner dan aspiratif. Upaya Nabi Musa dan Nabi Muhammad bernegosiasi kepada Allah tentang jumlah waktu salat, merupakan sikap yang visioner dan aspiratif. Bagi Rasulullah untuk melaksanakan salat wajib 50 waktu tidak bermasalah, namun bagi umat manusia lainnya sangat memberatkan hidup. Dengan memprediksi umat di akhir zaman yang lemah-lemah, maka Nabi Muhammad menyetujui argumentasi dari Nabi Musa untuk menawar (meminta pengurangan) jumlah waktu salat. Akhirnya, Allah memberikan keringanan kepada Nabi Muhammad untuk mewajibkan seluruh umatnya melaksanakan salat sebanyak 5 waktu dalam sehari semalam.

Itulah pembahasan makna dari peristiwa Isra Mikraj yang dapat saya tuliskan, untuk lebih jelasnya silakan Anda membaca keempat kitab di atas ataupun bertanya langsung kepada para ulama. Tulisan ini sebagai pengingat bagi saya pribadi, dan untuk memberikan wawasan kepada kaum muda dalam melakukan perjalanan menuju kembalinya kepada Allah SWT. Semoga kita mendapatkan kebahagiaan berjumpa dengan Allah SWT dengan tersenyum. Aamiin Yaa Rabbal A'lamiin. (EAS).

Sabtu, 08 Februari 2025

NPD

 

https://www.tempo.co/gaya-hidup/penderita-gangguan-narsistik-rentan-mengidap-depresi-1178725


Kali ini saya akan membahas tentang Narcissistic Personality Disorder (NPD). Apa itu NPD? Apakah berbahaya jika kita berteman dengan seorang NPD? Atau jangan-jangan kita sendiri termasuk dalam kategori NPD? Mari kita bahas secara gamblang tentang definisi dan ciri-ciri dari NPD ini.  

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), narsisistik atau narsis adalah sikap yang menunjukkan kepedulian yang berlebihan kepada diri sendiri. sifat narsisistik ini bisa berkembang menjadi gangguan kepribadian narsistik (NPD). NPD merupakan gangguan kesehatan mental yang ditandai dengan rasa penting diri yang berlebihan, kebutuhan untuk terus dikagumi, serta kurangnya empati terhadap orang lain.

Ciri-ciri NPD adalah: percaya diri yang berlebihan, sikap arogan dan egois, mudah kecewa dengan kritik, bahkan terhadap kritik yang bersifat konstruktif, serta sangat sensitif terhadap penilaian orang lain. Mereka tampak percaya diri, tetapi sebenarnya penuh ketergantungan pada pujian, Selain itu,  individu dengan NPD cenderung mau menang sendiri dan defensif, mudah marah atau meledak saat menghadapi sudut pandang yang berbeda, merasa diri paling hebat, serta merendahkan orang lain untuk meningkatkan harga dirinya.

Menurut sumber lain, Narcissistic Personality Disorder (NPD) adalah gangguan kepribadian yang ditandai dengan rasa cinta dan kebanggaan berlebihan terhadap diri sendiri, yang kerap ditunjukkan secara berlebihan kepada orang lain. Individu dengan NPD memiliki hasrat kuat untuk dipuji dan diakui, bahkan tak segan untuk meremehkan dan merendahkan orang lain demi meningkatkan citra dirinya.

Orang-orang dengan Narcissistic Personality Disorder (NPD)  sering memanfaatkan media sosial sebagai sarana aktualisasi diri dengan memamerkan “kehebatan-kehebatan” mereka, yang terkadang hanya ilusi semata dan tidak sesuai dengan kenyataanya. Perilaku narsistik ini cenderung lebih sering muncul pada remaja, karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti perilaku konsumtif, yang kemudian difasilitasi oleh media sosial seperti Instagram, TikTok. Selain itu, perilaku tersebut juga didukung oleh keyakinan untuk meningkatkan harga diri atau self esteem.

Namun, apakah NPD ini hanya berlaku di kalangan remaja saja? Jangan terburu-buru untuk menjawab. Mari kita tuntaskan pembahasan ini terlebih dahulu.

Istilah narsisme secara bahasa berasal dari Bahasa Belanda, yaitu narcism, dan dari Bahasa Inggris, yaitu narcissism, yang keduanya memiliki arti yaitu sebuah perasaan cinta terhadap diri sendiri secara berlebihan.

Sedangkan, dalam Kamus Psikologi, narsisme diartikan sebagai cinta diri atau perhatian yang berlebihan terhadap diri sendiri. Secara istilah, narsisme berasal dari kata narcissistic, dan orang yang mengalami gejala ini disebut narsisis (narcissist).

Sebenarnya, jika masih dalam tahap wajar, sifat narsis bukanlah masalah dan cenderung dimiliki oleh semua orang. Namun, jika kadarnya sudah terlalu berlebihan, hal itu bisa menjadi pertanda adanya gangguan kepribadian narsistik (Narcisstic Personality Disorder/NPD). (Halo doc).

Secara umum, orang dengan gangguan kepribadian narsitik (NPD) memiliki kebutuhan  mendalam untuk diperhatikan dan dikagumi. Mereka  juga cenderung kurang bisa berempati terhadap orang lain. Jika perhatian atau penghormatan yang mereka harapkan tidak didapatkan, mereka mudah merasa tersakiti dan sangat kecewa.

Secara sains, tidak ditemukan sebab yang pasti yang menjelaskan penyebab narsisme. Namun, berbagai riset yang menunjukkan bahwa ada faktor-faktor tertentu yang menandakan seseorang memiliki gangguan kepribadian narsistik (NPD) antara lain: 1) Merasa dirinya sangat penting dan ingin dikenal oleh orang lain. 2) Merasa diri unik dan istimewa. 3) Suka dipuji dan jika perlu memuji diri sendiri. 4) Kecanduan difoto atau dishooting. 5) Suka berlama-lama di depan cermin. 6) Kebanggaan berlebih. 7) Mengambil keuntungan dari orang lain demi kepentingan diri sendiri. 8) Perilaku congkak atau sombong. (Jurnal penelitian dari Saidah, Afidatur Rohmah).

Menurut Saidah, Istilah narsisme lebih mengarah pada sebuah sifat takabur. Dalam khazanah Islam, takabur memiliki beberapa kata semakna seperti: fakhur (sombong), hasad (iri dengki), ‘ujub (berbangga diri), riya (pamer amal), dan ‘utuw (melampaui batas). Beberapa sifat ini telah disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai perilaku yang tercela dan dilarang dalam ajaran agama.

Sifat-sifat tersebut tidak hanya merusak hubungan sosial, tetapi juga dapat mengikis nilai-nilai kebaikan dalam diri seseorang. Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk senantiasa waspada terhadap perilaku ini dan berusaha menjauhinya.

Secara umum, mencintai diri sendiri adalah hal  yang natural dan penting. Setiap manusia membutuhkan rasa cinta pada dirinya agar bisa mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh Sang Maha Pencipta. Namun, ketika rasa cinta diri tersebut berubah menjadi obsesi yang berlebihan, bahkan sampai memaksa orang lain untuk mengakui atau memuja dirinya, maka hal itu akan berdampak negatif baik bagi dirinya sendiri maupun lingkungan sekitar.

Sikap ini dapat menjadi cikal bakal munculnya gangguan mental, seperti gangguan kepribadian narsistik yang akhirnya mengganggu hubungan sosial dan kesehatan mental individu tersebut. Oleh karena itu, memiliki keseimbangan antara mencintai diri sendiri dan menjaga empati terhadap orang lain sangatlah penting.

Perkembangan dunia modern saat ini, khususnya dalam bidang sosial media mengubah gaya hidup seluruh manusia di dunia. Kebutuhan aktualisasi diri berubah menjadi kebutuhan utama bagi kebanyakan orang. Kebutuhan ini tewujud dengan aksi pamer atau flexing di media sosial. Mempertontonkan segala bentuk pencapaian hidupnya dan wajib mendapat validasi serta penghargaan dari orang lain. Kebutuhan ini menjadi pendorong untuk menyebarnya Narsisme.

Pertanyaannya, apakah yang menggunakan media sosial itu hanya kalangan remaja? Tidak adakah orang dewasa yang menggunkan media sosial untuk mengaktualisasi diri? Sudah menjadi rahasia umum, bahwa media sosial digunakan oleh kalangan muda maupun dewasa. Tidak sedikit orang dewasa yang melakukan playing flexing di media sosialnya. Dengan memamerkan semua kehebatannya, akan melahirkan sifat sombong bahwa dirinya lebih hebat daripada orang lain. Dengan demikian, jawaban pertanyaan pada paragraf sebelumnya segera terjawab. Bahwa perilaku Narcissistic Personality Disorder (NPD) bisa juga di miliki oleh orang dewasa, tidak hanya kalangan remaja.

Saya mengasumsikan bahwa Narcissistic Personality Disorder (NPD) ini adalah gangguan mental yang berbahaya dan dapat dikategorikan sebagai penyakit hati. Seperti halnya penyakit hati lainnya, NPD sulit dideteksi oleh diri sendiri. bahkan dalam banyak kasus, penderita tidak menyadari bahwa mereka sudah mengalami gangguan tersebut.

Namun, jika seseorang mampu menyadari bahwa dirinya menunjukkan gejala NPD, Langkah terbaik adalah segera mencari pertolongan professional, seperti terapi dengan psikiater atau psikolog. Dengan terapi yang tepat, gangguan ini bisa diatasi secara bertahap, sehingga individu dapat kembali menjalani kehidupan sehari-hari yang lebih sehat, baik secara mental, emosional, maupun sosial.

Penderita NPD jarang menyadari bahwa dirinya mengalami gangguan tersebut. Hal ini terjadi karena rasa egois yang begitu kuat dalam dirinya, serta kecenderungan untuk membenarkan dan memantaskan setiap tindakan yang dilakukan. Mereka memandang pencapaian pribadi sebagai bukti superioritas, seolah-olah keberhasilan itu adalah tanda bahwa mereka memang layak dibanggakan. Alasannya sederhana, tidak semua orang dapat mencapai level kekuasaan, kehebatan, atau prestasi yang telah mereka raih.

Pertanyaan yang muncul bagaimana jika yang mempunyai NPD adalah anggota keluarga sendiri? Jawaban yang mungkin adalah dengan menasehatinya secara persuasif serta membujuk untuk melakukan konsultasi kepada pihak yang kompeten di bidangnya. Kendatipun diucapkan sangat mudah, tapi ketika akan dilaksanakan akan terjadi halangan dan rintangan yang tidak mudah.

Sekarang, bagaimana jika orang dengan perilaku NPD itu adalah teman, rekan sejawat, atau bahkan atasan kita di kantor? Tentu tidak mudah, untuk menasehati atau menyarankan mereka melakukan pemeriksaan. Apalagi, kebanyakan orang dengan NPD tidak menyadari bahwa mereka memiliki gangguan mental tersebut. Sebaliknya, mereka justru sering memperlakukan orang lain dengan buruk, meremehkan, atau bahkan merendahkan demi mempertahankan citra diri yang mereka banggakan.

Menghadapi situasi seperti ini membutuhkan strategi yang bijak dan penuh kahati-hatian, bukan konfrontasi langsung yang justru bisa memperburuk keadaan.

Bagaimana tetap bergaul dengan orang NPD? Tentu ini bukan hal yang mudah. Berinteraksi terus menerus dengan seorang yang mengidap NPD dapat memengaruhi kesehatan mental kita sendiri. Bahkan, dalam jangka panjang, kita bisa rentan mengalami stress, gangguan kecemasan, atau lebih ekstrem, justru terpengaruh dan meniru perilaku narsistik tersebut.

Dengan demikian, penting bagi kita untuk mengenali ciri-ciri orang dengan NPD sejak awal dan memahami cara tepat dalam menghadapinya. Solusinya adalah dengan belajar mencari ilmu dan strategi yang tepat dalam berinteraksi dengan mereka.

Berinteraksi dengan orang yang berperilaku NPD memang membutuhkan strategi khusus agar kita tetap sehat secara mental. Berikut beberapa strategi yang dapat kita lakukan adalah: menerima kondisi, jaga jarak emosional, tetap tenang, tolak dengan tegas, jangan takut di “cut off” orang lain, dan teguhkan prinsip serta keyakinan diri dalam menjalani hubungan sosial dalam kehidupan.

Namun, ada hal penting yang harus kita pahami. Jangan sampai kita dengan mudah menuduh orang lain sebagai pengidap Narcissistic Personality Disorder (NPD),  padahal mungkin justru kitalah  yang sebenarnya mengalami gangguan mental tersebut. Oleh sebab itu, diperlukan kehati-hatian dalam menafsirkan ciri-ciri dan karakteristik dari NPD. Tidak semua perilaku yang tampak seperti narsisme berarti seseorang mengalami gangguan mental.

 Kesimpulan dan penilaian sangat bergantung pada pemahaman ilmu serta pengalaman masing-masing individu. Jangan biarkan prasangka membuat kita salah menilai orang lain. Sebaiknya, serahkan diagnosis kepada tenaga professional.

Satu pesan dari saya:

“Tetaplah menjaga kesehatan mental Anda. Jangan sampai Anda menjadi racun dalam kehidupan orang lain.”  (EAS).

Rabu, 05 Februari 2025

Kindness Strategy

 


https://www.tokopedia.com/the-kindness-method-the-highly-effectivutm_source=google&utm_medium=organic&utm_campaign=pdp

Tulisan kali ini terinspirasi oleh presentasi, Prof. H. Dr. Dedi Mulyasana, M.Pd., yang menyoroti pentingnya penerapan Kindness Strategy dalam  mendidik anak-anak, dibandingkan metode tradisional berbasis reward (penghargaan) dan punishment (hukuman). 

Tergerak hati saya untuk mencari tahu, Apa itu Kindness Strategy? Apa kelebihan Kindness Strategy dibandingkan reward and punishment? Dengan dua pertanyaan tersebut, saya membuka beberapa tulisan yang membahas kajian tersebut.

Kita amati satu persatu definisinya. Yang pertama definisi tentang kindness. Menurut sumber yang saya dapatkan kata kindness dalam bahasa Inggris berarti kebaikan dalam bahasa Indonesia. Kebaikan merupakan nilai moral yang positif dalam banyak budaya dan masyarakat di seluruh dunia. Beberapa contoh tindakan yang menunjukkan kebaikan adalah:

1.     Membantu orang lain tanpa mengharapkan imbalan

2.     Berbicara dengan kata-kata yang baik

3.     Menunjukkan pengertian dan toleransi terhadap orang lain

4.     Menunjukkan penghargaan dan rasa terima kasih

5.     Melakukan hal yang benar

6.     Mendahulukan orang lain daripada diri sendiri

7.     Merawat seseorang yang membutuhkan

8.     Memperlakukan orang lain sebagaimana Anda ingin diperlakuakn.

Dalam kamus Psikologi (Pam, 2013) Kindness sebagai tindakan yang baik dan bermanfaat yang secara sengaja ditujukan kepada orang lain, yang dimotivasi oleh keinginan untuk membantu orang lain dan bukan untuk mendapatkan imbalan secara eksplisit atau untuk menghindari hukuman secara eksplisit.

Sinonim dari kindness menurut Kamus Merriam adalah altruisme. Kindness dan altruisme adalah konsep terkait yang melibatkan perbuatan baik kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun. Jadi, menurut saya, yang menjadi tolok ukur dari kindness ini adalah perbuatan baik dan tulus yang dilandasi oleh perilaku kasih sayang.

Sedangkan Kindness Strategy menurut Prof. H. Dr. Dedi Mulyasana, M.Pd., adalah pendekatan yang berfokus pada pengasuhan berbasis kasih sayang, empati, dan pemahaman. Dalam pendekatan ini, anak dibimbing untuk memahami nilai moral dari tindakannya bukan hanya sekadar mengejar hasil.

Misalnya, guru atau orang tua dapat mengajak anak berdialog tentang pentingnya datang tepat waktu ke sekolah untuk menunjukkan rasa hormat terhadap orang lain, bukan sekadar takut dihukum atau ingin hadiah.

Menurut Prof. Dedi, pendekatan ini membantu anak memahami alasan mendasar di balik aturan atau norma sosial yang mereka jalani, sehingga tumbuh kesadaran intrinsik untuk berperilaku baik. Mengapa guru perlu mempertimbangkan untuk beralih menggunakan Kindness Strategy? Karena melalui kindness stategy siswa akan melakukan tindakan sesuai kesadaran diri yang akhirnya membentuk sebuah karakter.

Ada sumber lain yang berkaitan dengan definisi Kindness Strategy, yaitu menurut Sujaya, S.Pd.Gr. Menurut Sujaya, Kindness Strategy adalah pendekatan yang menekankan pentingnya kebaikan, empati dan hubungan yang positif antara guru, siswa, dan komunitas sekolah. Strategi ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan belajar yang mendukung perkembangan emosional, sosial, dan akademik siswa.

Berikut adalah beberapa komponen utama dari kindness strategy:

1.     Membentuk budaya positif di sekolah

2.     Mengajarkan empati dan kesadaran emosional

3.     Membangun hubungan positif

4.     Mengintegrasikan kebaikan dalam kurikulum

5.     Memberikan dukungan sosial dan emosional

6.     Mendorong tindakan kebaikan yang sederhana

7.     Kolaborasi dengan orang tua dan komunitas

Menurut pendapat saya, Kindness strategy ini sangat baik apabila dapat dipraktikkan secara nyata di lingkungan satuan pendidikan. Yang saya tahu, selama ini guru-guru, khususnya saya sendiri, melaksanakan pendekatan secara reward and punishment. Untuk mendisiplinkan para siswa, kami menerapkan aturan yang berbasis pada hadiah (penghargaan) dan hukuman (sanksi). Siswa yang berhasil menjalanakn aturan dengan baik diberi penghargaan, sedangkan siswa yang melanggar aturan diberi hukuman. Penghargaan dan hukuman tersebut saya anggap sebagai suatu konsekuensi yang harus diterima dalam menjalankan semua tugas-tugas dan kewajibannya sebagai siswa di sekolah.

Sebelum kita melanjutkan pembahasan lainnya, mari kita lihat terlebih dahulu manfaat dari Kindness strategy. Pendekatan ini memiliki manfaat, di antarnya: meningkatkan kebahagiaan dan kesejahteraan emosional siswa, membantu menciptakan lingkungan belajar aman dan mendukung, mengurangi konflik, dan meningkatkan kerja sama di antara siswa.

Prinsip dasar Kindness Strategy berfokus pada pengembangan nilai-nilai internal, seperti empati, kebaikan, dan hubungan positif. Tujuannya adalah membangun kesadaran dan tanggung jawab intrinsik siswa untuk berbuat baik tanpa paksaan eksternal. Dengan pendekatan ini, dimungkinkan siswa akan memiliki karakater posistif dalam kurun waktu yang panjang.

Sedangkan pendekatan Reward and Punishment menggunakan penguatan penghargaan atau hukuman untuk memotivasi perilaku tertentu. Tujuannya adalah mengontrol perilaku siswa melalui konsekuensi langsung. Melalui pendekatan ini, siswa akan memiliki karakter yang positif dalam kurun waktu yang pendek.

Prof. H. Dr. Dedi Mulyasana, M.Pd., menjelaskan pengaruh negatif dari pendekatan reward and punishment yaitu siswa beresiko terjangkit penyakit Mitomania. Mitomania adalah gangguan mental yang menyebabkan seseorang berbohong secara terus menerus dan tidak terkendali. Mitomania juga dikenal sebagai gangguang kebohongan patologis dan bersifat kronis.

Ciri-ciri mitomania adalah: berbohong tanpa ada alasan yang jelas, berbohong secara berlebihan, berbohong tanpa keuntungan nyata, berbohong untuk menarik perhatian, berbohong untuk merasa lebih baik, berbohong yang dramatis dan kompleks, serta mempercayai kebohongan yang dibuatnya sendiri. Efek dari mitomania ini dapat menyebabkan seseorang mengalami kesulitan dalam menjaga hubungan sosial dan kehilangan kepercayaan dari orang lain.  

Melihat dampak negatif dari pendekatan reward and punishment ini ternyata sangat membahayakan. Sehingga saya berfikir kembali, apakah benar semua anak atau orang yang dididik dengan pendekatan reward and punishment akan memiliki penyakit mitomania? Namun, saya yang dilahirkan dan dibesarkan dengan pendekatan ini, sekarang baik-baik saja dan memiliki karakter yang positif. Atau mungkin penyakit tersebut tidak menyerang pada setiap orang, hanya orang-orang tertentu saja? Lantas orang yang bagaimana yang dapat terkena atau tidaknya?

Dalam penjelasan  Prof. H. Dr. Dedi Mulyasana, M.Pd. tidak ada orang yang spesifik yang dapat terkena atau tidaknya penyakit mitomania tersebut. Fokus yang diutarakan bahwa Guru harus beralih pada pendekatan Kindness strategy untuk mendidik para siswanya. Disamping itu, pendekatan reward and punishment akan melahirkan “karakter palsu” dalam diri siswa.

Coba kita lihat dalam konteks kehidupan sehari-hari; di dunia Pendidikan, dunia kerja, serta dalam pemahaman agama. Pendekatan reward and punishment yang selalu diutamakan. Misalnya, siswa yang disiplin, rajin belajar, ia akan tumbuh menjadi anak yang berkarakter positif serta menjadi pintar. Oleh karena itu, mereka diberikan penghargaan oleh sekolah ataupun lembaga pendidikan lainnya. Sebaliknya, anak yang malas belajar, tidak diberi penghargaan atas kemalasannya, bahkan sering menerima cemoohan dari orang lain.

Guru yang baik dan disiplin dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) akan diberikan penghargaan oleh kepala sekolah seperti pemberian jabatan. Seorang pegawai yang rajin dan disiplin pasti akan diberi penghargaan berupa promosi jabatan, sementara yang melanggar tupoksinya akan dikenai sanksi. Bahkan, dalam agama, orang yang melakukan keburukan akan diberikan hukuman berupa neraka, sedangkan yang melakukan kebaikan akan diberikan surga.

Saya sendiri adalah orang yang dihasilkan dari didikan reward and punishment oleh orang tua maupun guru-guru di masa lalu. Saya selalu ingat nasihat kedua orang tua dalam melakukan segala sesuatu, yaitu: Ala bisa karena biasa, biasa karena terpaksa. Mungkin dari keterpaksaan inilah yang memungkinkan ada celah penyakit mitomania muncul dalam diri seseorang. Karena perasaan terpaksa tersebut, ketakutan muncul dalam hati, dan ketika melanggar suatu aturan, maka seseorang merasa perlu berbohong untuk mengamankan diri dari hukuman.

Memang benar, dengan adanya motivasi dari luar seperti unsur paksaan sebagai akibat pendekatan reward and punishment,  seseorang cenderung tidak melakukan secara ikhlas atau lillah. Segala sesuatunya diukur dari apa yang akan didapatkan apabila mengerjakannya, dan apa hukuman yang akan diterima bila tidak melakukannya. Hal ini menciptakan apa yang dinamakan karakter palsu. Karakter positif muncul ketika ada faktor eksternal atau orang yang dianggap berkuasa, Namun, ketika jauh dari faktor eksternal tersebut, karakter seseorang dapat berubah dan yang tampak adalah karakter asli mereka.

Untuk itu, diperlukan pengkajian dan pendalaman materi untuk melaksanakan pendekatan Kindness Strategy ini. agar tidak terjadi kesalahan baik dalam konsep maupun praktik pelaksanaannya di lapangan. Dibutuhkan guru yang benar-benar mempunyai rasa kasih sayang yang tulus dan ikhlas dalam mendisiplinkan serta mendidik siswa, tanpa mengharapkan balasan apapun kecuali balasan dari Allah SWT. (EAS).

Minggu, 02 Februari 2025

EGALITER

 


https://www.tokopedia.com/tropenbookstore/masyarakat-egaliter-louise-marlow

Satu kata yang akan saya bahas dalam tulisan kali ini adalah “egaliter”. Istilah “egaliter” memang terasa asing bagi sebagian orang, tak terkecuali bagi diri saya sendiri. Kata “egaliter” berkaitan erat dengan dunia politik. Meski begitu, sebenarnya penerapan konsep “egaliter” dapat dilakukan di berbagai bidang serta dalam segala situasi dan kondisi.

Oleh sebab itu, menurut saya, sangat penting bagi seseorang untuk mengetahui definisi dan makna sesungguhnya dari kata ini. Lantas, sebenarnya, apa yang dimaksud dengan istilah “egaliter”?

Seperti biasa, saya akan membahas arti dan definisi dari kata “egaliter” berdasarkan beberapa sumber yang saya dapatkan. Yang pertama; mengutip dari laman kbbi.web.id, “Egaliter” memiliki arti bersifat sama; sederajat. Adapun sinonim yang benar sesuai dengan tesaurus bahasa Indonesia adalah sama, sederajat, dan setingkat. Kedua; “Egaliter” menurut Wikipedia adalah aliran pemikiran yang percaya bahwa semua orang memiliki nilai yang sama dan harus memiliki status yang setara. Kata “egaliter” berasal dari bahasa Prancis égal yang berarti "sama". 

Sedangkan menurut sumber lain, “egaliter” merujuk pada kondisi di mana semua individu memiliki kesempatan yang sama dan diperlakukan dengan adil, tanpa memandang latar belakang, ras, agama, jenis kelamin, atau status sosial. Konsep “egaliter” lebih luas mencakup berbagai aspek, seperti kesempatan yang sama dalam pendidikan dan pekerjaan; hak yang sama dalam hukum dan politik; serta akses yang sama terhadap sumber daya dan layanan.

 Apakah egaliter sama dengan definisi persamaan gender? Menurut sumber yang saya dapatkan, persamaan gender adalah konsep yang lebih spesifik, yang merujuk pada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti kesempatan yang sama dalam pendidikan dan pekerjaan; hak yang sama dalam hukum dan politik; akses yang sama terhadap sumber daya dan layanan; serta penghapusan diskriminasi dan stereotif gender.

Dari informasi di atas, kita dapat membedakan tentang definisi egaliter dan persamaan gender. Dengan pemahaman ini, kita tidak lagi bingung atau salah mengartikan istilah “egaliter”, sehingga dapat memahami tulisan ini dengan lebih baik.

Dalam agama Islam; konsep egaliter telah diajarkan oleh para Nabi dan Rasul. Sebagaimana kita pahami dalam sejarah, para nabi hadir membawa sistem kepercayaan alternatif yang egaliter dan membebaskan. Ajaran  yang mereka sampaikan menegaskan bahwa ketundukan dan kepatuhan hanya diberikan kepada Allah, bukan kepada manusia.  Sebab,  kebenaran berasal dari Allah, maka kekuasaan yang sejati pun berada pada genggaman-Nya, bukan ditangan raja atau pemerintah.  

Apa yang menjadi ciri bahwa seorang pemimpin itu bersikap egaliter? Ciri khas utama dari gaya kepemimpinan ini adalah sikap rendah hati dan tidak pernah menempatkan diri sebagai petinggi atau golongan elit yang sulit dijangkau oleh bawahannya. Pemimpin egaliter cenderung memposisikan dirinya sejajar dengan orang-orang yang ia pimpin atau setara dengan mayoritas masyarakat. Dengan demikian, meskipun berperan sebagai pemimpin, ia tetap tidak ingin terlihat mencolok. (kumparan.com).

Menurut saya, dengan gaya kepemimpinan yang seperti ini, tidak heran jika pemimpin dengan gaya egaliter banyak disukai oleh bawahan dan masyarakat. Tak hanya itu, bawahan dan masyarakat pun jadi lebih loyal terhadap pemimpin tersebut. lantas, adakah pemimpin di Indonesia yang berjiwa egaliter? jawabannya ada, yaitu B.J. Habibie, Gus Dur, dan Saleh Pallu.

Selain ketiga pemimpin yang saya sebutkan di atas, mungkin ada pemimpin lain yang juga memiliki sifat egaliter. Namun, ketiga tokoh tersebut sangat menonjol dalam melaksanakan kepemimpinannya secara egaliter, Sementara pemimpin lainnya mungkin memiliki campuran dari berbagai sikap dan prinsip yang berbeda.

Sebetulnya, tokoh yang paling saya kagumi dalam prinsip keegaliteran adalah tokoh sufi dan wali utama Allah yaitu, Syekh Siti Jenar. Ia dikenal dengan pemegang prinsip “egaliter” dan mengajarkannya kepada para santri pada masa hidupnya. Ia menganggap bahwa semua manusia memiliki derajat yang sama, baik itu guru dan murid, raja dengan rakyatnya, orang kaya dan miskin. Kesimpulannya, semua manusia adalah sama, setara, sepadan, selevel, imparsial, dan netral. Namun, seperti yang saya tuliskan dalam kisah Syekh Siti Jenar, prinsip “egaliter” ini sangat tidak diterima oleh pihak kerajaan dan pejabat pemerintahan waktu itu. Akibatnya, Syekh Siti Jenar dianggap melakukan makar terhadap pemerintahan kerajaan pada masa itu.

Bagaimanakah dengan masyarakat saat ini? Apakah mereka menerima prinsip “egaliter” tersebut? Berdasarkan pengalaman dan kenyataan yang saya pahami, prinsip “egaliter” tidak sepenuhnya di terima, terutama oleh orang-orang yang merasa memiliki kekuasaan, jabatan, dan kewenangan yang tinggi. Dalam kehidupan sehari-hari pun, tetap  ada jurang pemisah antara oyang memimpin dan yang dipimpin, antara guru dengan murid, antara kiai dan santri, antara orang kaya dan orang miskin, terlebih antara presiden dan rakyatnya. Status duniawi tetap melekat pada semua titel yang ada.

Dalam pandangan saya, seseorang yang memiliki kekuasaan, baik di level rendah maupun tinggi, cenderung enggan disetarakan dengan orang yang tidak memiliki kekuasaan. Bahkan, banyak orang yang memiliki kelebihan dalam harta, tahta, dan ilmu berperilaku sombong dan arogan, seakan ingin menunjukkan, bahwa orang lain lebih rendah derajatnya dibanding dirinya. Tidak terkecuali orang yang paham agama maupun orang berpendidikan. Apakah hal ini wajar? Jawaban saya, bisa iya bisa tidak.

 Mengapa jawaban saya ada dua kemungkinan, “ya” dan “tidak”, dan tidak seharusnya mutlak “tidak”? Inilah alasannya. Memang benar dalam agama Islam, prinsip “egaliter” dicontohkan oleh para nabi dan rasul. Namun, mengapa banyak orang yang tidak menerima prinsip ini? Salah satu jawabannya adalah karena semua itu terkondisikan dalam lingkungan masyarakat tempat seseorang berada, serta pengalaman hidupnya yang membuatnya sulit menerima prinsip “egaliter”. Yang terpenting adalah karakter dan sifat sombong yang telah tumbuh dalam jiwa seseorang, sehingga dia enggan untuk di samakan derajatnya dengan orang lain. Perasaan sombong inilah yang menjadi cikal bakal perusak prinsip “egaliter” dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Sifat sombong adalah merasa diri lebih dari orang lain, dan menganggap orang lain tidak selevel dengannya. Jadi, bukan ilmu atau pemahaman agamanya yang salah, melainkan hati dan jiwanya yang kotor, yang sangat bangga dengan pencapaian hidupnya yang lebih baik dari orang lain. Tak jarang, ada aliran agama yang mengkafirkan orang lain meskipun mereka masih dalam satu ikatan agama. Saya sering berkelakar bahwa orang seperti itu sudah memegang kunci neraka atau kunci surga, seakan-akan mereka dapat menyimpulkan orang lain sebagai kafir atau sejenisnya.

Sekarang pertanyaannya khusus untuk diri saya pribadi: Apakah saya pernah menerima atau menolak prinsip “egaliter”? Secara jujur, saya menjawab bahwa terkadang saya menerima dan terkadang saya menolaknya. Padahal, seharusnya saya menerima prinsip “egaliter” dengan sepenuh hati, yang sudah dicontohkan oleh baginda Nabi Muhammad SAW. Berdasarkan hal tersebut, wajib bagi saya untuk memperbaiki hati dan jiwa agar tidak terinfeksi oleh virus kesombongan. Semoga Allah SWT memberikan pengampunan kepada kita semua atas segala dosa yang telah diperbuat, khususnya dosa sombong terhadap sesama manusia. Aamiin Yaa Rabbal’alamin. (EAS).

PEOPLE PLEASER

  https://www.its.ac.id/news/2024/05/05/people-pleaser-upaya-semu-menyenangkan-semua-orang Tulisan kali ini akan membahas tentang People Ple...